Mengenai Saya
- Alex R. Nainggolan
- Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll. Bekerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sabtu, 24 Maret 2012
Melepas Puisi
Sesekali aku ingin sekali melepas sebuah puisi padamu. Mungkin sebuah puisi buruk. Jauh dari ceruk anganmu. Berkisah tentang hal sederhana tentang hidup. Menculik sebagian fragmen dalam keseharianmu. Tapi aku begitu sendiri, saat ini, kawan. Kata-kata urung keluar dari lubuk hati. Kata-kata yang hadir malah—terkesan cuma dipaksakan. Tak ada lagi bekas penganiayaan di sana—yang kata orang—akan asik jika sedang patah hati menulis puisi. Di mana semua kesedihan mencuat di dalamnya. Tapi aku sekarang ogah untuk sakit hati. Ingin hidup yang happy saja. Senang-senang-dan senang.
Beberapakali, aku melakukan percobaan-percobaan kecil dengan mengaduk kata sekenanya. Menulis puisi dan jadi. Aku kira hal semacam itu sudah selesai. Tapi nyatanya, terasa lugu. Bahkan ketika kubaca lagi sajak-sajakku yang lampau. Terasa ada saja hal-hal yang kurang mesti ditambahi, pun kukurangi lagi.
Jika pada suatu ketika seorang penyair memberi saran padaku untuk menyuntuki satu biji puisi. Maka aku akan buang mentah-mentah pendapatku. Bagiku sekarang puisi untuk happy saja. Aku rasa itu sudah cukup. Tak perlu lagi membuat orang yang membacanya berkerut-kening hingga jungkir balik—atau malah tak ketemu apa manfaatnya ketika membaca.
Ah, maaf jika penafsiran kita terkadang lain. Atau mungkin ketika engkau membaca puisi-puisiku malah ketemu hal-hal yang lain juga. Barangkali engkau malah bertemu dengan narasi kesombongan, beberapa helai kesedihan, atau estetika sunyi yang tak jadi digeledah. Aku ingin sekali membawa catatan-catatan puisiku; melepasnya ke suatu tempat. Media massa, laut, atau apapun. Melepasnya begitu saja. Membiarkan kata-kata itu sendirian, syukur alhamdulillah kalau ia bisa bebas—sekaligus besar dengan sendirinya.
Syukur juga, kalau puisi-puisi itu kembali menemuiku lagi. Setelah beberapa tahun. Dan aku membacanya, dengan geli di hati. Ketika membacanya kembali, tiba-tiba aku kepingin merubahnya, menambahnya lagi. Tapi engkau pasti bilang jika itu tanda seseorang yang tak konsisten, bukan? Ah, jangan terlalu serius, kawan! Bukankah yang abadi malah perubahan itu sendiri? Dengan berubah (sajak-sajak), maka ia akan menemui lagi pembacanya dengan bentuk yang lain.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar