Mengenai Saya

Foto saya
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll. Bekerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Jumat, 10 Agustus 2012

Sajak-sajak...


Sajak-Sajak Alex R. Nainggolan

http://www.lampungpost.com/
Buat Anwar

aku ingin berdoa sepertimu
mengetuk di pintu-Nya
mungkin akan terbuka
menampung segala keluh
yang berkerumun di tubuh
tapi dari sudut mata tirusmu
sajak-sajak mengelupas
mengabarkan dunia yang luas
seperti telur menetas
anwar, jika suatu waktu aku sua
apa yang mesti kutanyakan?
ehm, mungkin tanpa bertanya saja
paling enaknya kita surfing
diksi saja di internet
atau mengapungkan tenung waktu
di kafe, dengan beberapa lagu
sekaligus cemilan juga capuccino
“aku ingin berdoa,” ucapmu lirih
“buat siapa? di kafe ini?” kejarku
“puisi yang telah lama pergi dan mati,”
hampir suaramu tak terdengar

Jakarta, 2010



Menempuh Nuh

sementara kapal nuh sudah lapuk
tenggelam di laut
namun engkau masih saja menunggu
dengan wajah kerut
atau rindu yang semaput
segala yang penuh kabut
dan banjir bandang
gelisah bertandang
mungkin engkau bimbang
dengan apa mesti menempuh nuh
sebab ia terasa perkasa
memahami bencana
engkau terus saja menempuh
ke ujung laut
yang jauh

Jakarta, 2010



Suatu Waktu

suatu waktu, entah di mana
engkau akan mencatat sekelumit kalimat rumit
dan kau bilang itu sebuah puisi
sementara orang-orang pergi jauh
menempuh semua peluh di tubuh
suatu waktu, di sebuah tempat
engkau tergoda juga untuk mencumbu angin
sementara harapan semakin dingin
dan kepergian cuma cerita larat yang diulang-ulang
akhirnya, kaucuma memenggal dirimu sendiri
serupa jenar
menggoda waktu
agar nampak memar
dan kaubertemu dengan baris kecemasan baru
bertahun abai berdamai dengan waktu

2010



Buku Penyair

yang ia catat cuma sayat perih
bahagia tertahan
hujan tergenang
kenangan terasa remang
tak mampu dipilahnya malam atau sedikit sepi
di sana kata-kata meranggas lalu siap dikubur ke tanah
mengais rindunya yang lembab dengan sedikit darah
yang didapati cuma muka orang-orang
menanam meriang padanya sepanjang hari
dicabutnya baris kalimat resah
menunggu di sepanjang gang sempit berbau apak
sebuah pinggiran kota yang tak tersentuh senja
lalu dikailnya angin
sampai tubuhnya kering
fragmen kesedihan lelap lagi
mungkin hadir pada mimpinya
sepanjang malam yang resah
dirinya yang kalah
lalu dikuncinya semua cuaca
diam-diam belajar membaca
di ruangan yang sesak dengan buku
tak pernah ada yang selesai dengannya
meski pagi tumbuh
acap tak ada yang usai

2010



Sebaris Mimpi

terasa mimpi itu mengunci
di teras tubuhmu semalaman
tak bisa kausingkirkan
bahkan ketika hujan tiba
pagi itu
semuanya mungkin kecemasanmu
yang mengeras
bertahun-tahun
akrab mengunyah bencana
saat kaukisahkan mimpimu
orang-orang menggeleng bersama
“mimpi itu untukmu! bukan milik kami!”
serempak menghardik

Jakarta, 2010

———–
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982, menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisannya berupa cerpen, puisi, dan esai dimuat di berbagai media dan antologi bersama.

Getar Sajak-Sajak Anwar

GETAR sajak-sajak Chairil Anwar, pe nyair besar, ma sih terasa sampai 
sekarang, 63 tahun setelah kepergiannya. Penyair yang meninggal pada 28 
April 1949 itu mewariskan bait kata-kata yang `mengabadi', acap 
menggaung--jauh dalam rentang jarak umur yang dimilikinya, 27 tahun. 
Kata-kata dalam sajaknya seperti terus bersemayam di dalam benak. 

Ia, sebagai pelopor angkatan 45, yang ditahbiskan HB Jassin, seperti tak 
pernah lekang dalam ingatan. Untuk hal yang satu ini, Milan Kundera 
agaknya bisa jadi salah, sebab Anwar terus diingat dan tak mudah 
dilupakan. Nyatanya, manusia (baca: khalayak sastra Indonesia) telah 
mampu untuk melawan lupa. Anwar, dengan sajak-sajaknya, masih tetap 
lekat dalam ingatan. 

Sajak-sajaknya memang mandiri, sejumlah kata-kata asli yang juga 
memberdayakan kemurnian sebuah puisi. 
Mulanya lewat sajak Aku Anwar memang bergerak dalam ranah pribadi, hanya 
dalam getir perasaan. Pun dalam sajak Nisan ia lebih bertumpu pada 
hubungan manusia dengan manusia, entah dalam persoalan asmara ataupun 
lainnya. 

Sejumlah sajak cintanya tidak picisan. Sajak itu tegar, tapi tetap 
digelayuti banyak getar sehingga saat membaca nya ada semacam debar yang 
tak bisa dirumuskan. Padanan diksi yang apik membuat sajak-sajaknya tak 
lagi memiliki celah. Ia membelah (memangkas habis) semua kepanjangan 
kalimat, membuat kata-kata begitu rapat, sekaligus akrab. 
Anwar pun seperti menguliti selapis demi selapis sakit yang dimilikinya. 
Ia menyentuh kedalaman kata itu sendiri. 

Simak Sajak Putih. Bagi saya, itu sajak yang begitu tabah, yang mampu 
`menyihir' di beranda pembukanya: bersandar pada tari warna pelangi/ kau 
depanku bertudung sutra senja/di hitam matamu kembang mawar dan 
melati/harum rambutmu mengalun bergelut senda//. 

Terasa ada `gaung' yang tumbuh dalam sajaknya. Kata-kata yang memadat, 
seperti bergema, memantul-mantul, dan membangunkan kesadaran diri dari 
dalam. Untuk itu, saya setuju dengan Acep Zam-Zam Noor, penyair asal 
Tasikmalaya, jika ukuran puisi yang baik ialah bulu kuduk. Jika dapat 
membuat bulu kuduk bergetar, puisi itu memang baik. Puisi tersebut bisa 
membuat segala indra tubuh tetap bergolak. 

Itu sebagaimana yang dicatat Sutardji Calzoum Bachri. 
Dalam menyair, Anwar selalu bersungguh-sungguh (Isyarat¸ Indonesiatera, 
hal 387). Kerja kepenyairannya begitu serius. 
Untuk mencari satu kata dalam sajaknya, ia membutuhkan waktu yang lama, 
dengan demikian terasa totalitasnya. Begitu besar energi yang 
ditempuhnya untuk merampungkan sebuah sajak. Dengan demikian, sajak-sa 
jaknya dipenuhi energi, tidak lapuk oleh usia, dan acap membahana. 

Menurut Sutardji d a l a m Wawan cara Imajiner dengan Chairil Anwar, 
bagi se orang penyair menulis sajak itu pekerjaan paling serius, paling 
sulit, dan paling berkeringat. Apabila ada yang bilang menulis sajak itu 
gampang, ya, memang gampang kalau menulis sajak itu tujuannya untuk 
lucu-lucu, untuk beraneh-aneh, sekadar perintang waktu. 
O l e h sebab itu, kedudukan penyair yang bersikap menggampangkan puisi 
juga tersepelekan dalam kancah perpuisian. 
Sikap penyair Chairil Anwar ialah seorang penyair yang mempunyai sikap. 
Ia seorang pribadi yang teguh, yang cende rung mengikuti kata hatinya. 
Kebenaran yang dirasakan, baginya, memang terkadang tidak be gitu 
mengasyikkan bagi kehidupannya sendiri. Hal itu da pat dilihat dalam 
sejumlah sejarah hidupnya yang bohemian, cenderung urakan-yang juga 
membuat nya, sebagaimana yang ditulis Sapardi Djoko Damono, sebagai 
lambang seniman di Indonesia. 
Sikapnya dengan keseriusan terhadap puisi pula yang membuatnya bisa 
melampaui apa-apa yang digagas sebelumnya. Itu mele wati seluruh 
pemikiran zamannya. Ia menulis sajak bagaikan sebuah ladang perburuan 
kata. Ia penyair yang menuliskan sajaknya dengan keringat dan air mata. 
Ia pun fokus pada setiap penciptaannya. Demikianlah, membaca Anwar ialah 
membaca sajak-sajak yang tertib kata-kata. 

Sebagaimana yang pernah ditulis Hasif Amini, `Puisi, tenaga rahasia kata 
yang bangkit dari susunan gambar-bunyi dan latar sunyi, yang merangkum 
makna atau melampauinya, adalah tilas dan proses yang memang punya 
sukacita dan kepedihan tersendiri. Ia tak bisa diharapkan datang dari 
hiruk-pikuk atau kalang kabut yang umum. Atau dari amarah yang 
menggembung jadi monster, yang cuma mengenal gerah dan gatalnya sendiri. 
Puisi: setrum yang memercik dari pergesekan huruf hidup dan mati, puting 
beliung yang menggila dari bukit dan lembah sepi, kelopak-kelopak majas 
yang mekar dari dada dan kepala yang merindu yang mencari'. 

Terbukti, apa yang dikerjakannya begitu dahsyat. Menurut hemat saya, ia 
telah melompat jauh jika dibandingkan dengan para pendahulunya. 
Itu sebuah gebrakan yang membuatnya tersohor. 

Hal tersebut tak lepas pula dari sejumlah sajaknya, mengingatkan saya 
akan kalimat K Usman dalam buku yang diberikan kepada saya, `Seorang 
pelopor apabila berhasil ia akan tersohor. Tapi seorang pengekor tak 
akan pernah jadi nomor satu'. 

Memang tak cuma ihwal cinta/asmara yang dipetiknya dalam puisi. 
Sajak-sajaknya berkisah banyak. Dari pelbagai sudut kehidupan. Anwar 
juga mencari Tuhan, persoalan bangsa, ataupun masalah sosial masyarakat 
yang terekam di masa ia hidup. Ia bisa saja berkisah tentang 
religiositas: doa, surga, masjid, Isa, dsb. 
Atau, aksi heroik dalam sajak sadurannya Karawang-Bekasi atau Diponegoro 
dan Persetujuan dengan Bung Karno. 

Anwar, bersama kesung guhan yang dimiliknya, telah meninggalkan jejak 
semangat dalam sajak-sajaknya. Semangat yang mengakar tak pernah pudar 
dalam menuliskan sajak-sajaknya. Pencariannya `penuh seluruh', meminjam 
ungkapannya dalam sajak Doa. 
Ia bilang ke Jassin dalam surat bertiti mangsa 10 April 1944: `Yang 
kuserahkan padamu-yang kunamakan sajak-sajak!-itu hanya percobaan 
kiasankiasan baru. 

Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa tingkat percobaan musti dilalui 
dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya' (Chairil Anwar Aku Ini 
Binatang Jalang, GPU, hal 98). Lewat dirinya, peta puisi Indonesia 
berubah. Melalui dirinya, pembendaharaan kata yang dimiliki bangsa ini 
melompat dengan jauh. Barangkali sajak-sajaknya akan tetap abadi. Gema 
seribu tahun lagi yang dituliskannya akan terbukti. 

Masa 28 April adalah tanggal kematiannya. Kematian yang muda. Meski, Soe 
Hok Gie--yang juga mati muda-dalam catatannya menulis, `Berbahagialah 
orang-orang yang mati muda'. Di tengah gaung globalisasi saat katakata 
menyeruak di antara iklan media massa, slogan atau janji, SMS/BBM, pun 
pada hamparan kata-kata di sejumlah jejaring sosial, apakah sajak-sajak 
Anwar masih layak diingat, dicatat, dan mendapat tempat? 
Namun, ketika membaca sajak-sajaknya, kembali terasa diksi-diksi 
rapatnya terus bersinar penuh pijar. Sajaksajaknya telah berhasil 
mengatasi kesementaraan waktu sehingga bergema lantang: Ingin hidup 
seribu tahun lagi! Ah, Anwar, kata-kata dalam sajakmu masih terus 
bergetar, penyair!