Mengenai Saya

Foto saya
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll. Bekerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Jumat, 10 Agustus 2012

Sajak-sajak...


Sajak-Sajak Alex R. Nainggolan

http://www.lampungpost.com/
Buat Anwar

aku ingin berdoa sepertimu
mengetuk di pintu-Nya
mungkin akan terbuka
menampung segala keluh
yang berkerumun di tubuh
tapi dari sudut mata tirusmu
sajak-sajak mengelupas
mengabarkan dunia yang luas
seperti telur menetas
anwar, jika suatu waktu aku sua
apa yang mesti kutanyakan?
ehm, mungkin tanpa bertanya saja
paling enaknya kita surfing
diksi saja di internet
atau mengapungkan tenung waktu
di kafe, dengan beberapa lagu
sekaligus cemilan juga capuccino
“aku ingin berdoa,” ucapmu lirih
“buat siapa? di kafe ini?” kejarku
“puisi yang telah lama pergi dan mati,”
hampir suaramu tak terdengar

Jakarta, 2010



Menempuh Nuh

sementara kapal nuh sudah lapuk
tenggelam di laut
namun engkau masih saja menunggu
dengan wajah kerut
atau rindu yang semaput
segala yang penuh kabut
dan banjir bandang
gelisah bertandang
mungkin engkau bimbang
dengan apa mesti menempuh nuh
sebab ia terasa perkasa
memahami bencana
engkau terus saja menempuh
ke ujung laut
yang jauh

Jakarta, 2010



Suatu Waktu

suatu waktu, entah di mana
engkau akan mencatat sekelumit kalimat rumit
dan kau bilang itu sebuah puisi
sementara orang-orang pergi jauh
menempuh semua peluh di tubuh
suatu waktu, di sebuah tempat
engkau tergoda juga untuk mencumbu angin
sementara harapan semakin dingin
dan kepergian cuma cerita larat yang diulang-ulang
akhirnya, kaucuma memenggal dirimu sendiri
serupa jenar
menggoda waktu
agar nampak memar
dan kaubertemu dengan baris kecemasan baru
bertahun abai berdamai dengan waktu

2010



Buku Penyair

yang ia catat cuma sayat perih
bahagia tertahan
hujan tergenang
kenangan terasa remang
tak mampu dipilahnya malam atau sedikit sepi
di sana kata-kata meranggas lalu siap dikubur ke tanah
mengais rindunya yang lembab dengan sedikit darah
yang didapati cuma muka orang-orang
menanam meriang padanya sepanjang hari
dicabutnya baris kalimat resah
menunggu di sepanjang gang sempit berbau apak
sebuah pinggiran kota yang tak tersentuh senja
lalu dikailnya angin
sampai tubuhnya kering
fragmen kesedihan lelap lagi
mungkin hadir pada mimpinya
sepanjang malam yang resah
dirinya yang kalah
lalu dikuncinya semua cuaca
diam-diam belajar membaca
di ruangan yang sesak dengan buku
tak pernah ada yang selesai dengannya
meski pagi tumbuh
acap tak ada yang usai

2010



Sebaris Mimpi

terasa mimpi itu mengunci
di teras tubuhmu semalaman
tak bisa kausingkirkan
bahkan ketika hujan tiba
pagi itu
semuanya mungkin kecemasanmu
yang mengeras
bertahun-tahun
akrab mengunyah bencana
saat kaukisahkan mimpimu
orang-orang menggeleng bersama
“mimpi itu untukmu! bukan milik kami!”
serempak menghardik

Jakarta, 2010

———–
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982, menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisannya berupa cerpen, puisi, dan esai dimuat di berbagai media dan antologi bersama.

Getar Sajak-Sajak Anwar

GETAR sajak-sajak Chairil Anwar, pe nyair besar, ma sih terasa sampai 
sekarang, 63 tahun setelah kepergiannya. Penyair yang meninggal pada 28 
April 1949 itu mewariskan bait kata-kata yang `mengabadi', acap 
menggaung--jauh dalam rentang jarak umur yang dimilikinya, 27 tahun. 
Kata-kata dalam sajaknya seperti terus bersemayam di dalam benak. 

Ia, sebagai pelopor angkatan 45, yang ditahbiskan HB Jassin, seperti tak 
pernah lekang dalam ingatan. Untuk hal yang satu ini, Milan Kundera 
agaknya bisa jadi salah, sebab Anwar terus diingat dan tak mudah 
dilupakan. Nyatanya, manusia (baca: khalayak sastra Indonesia) telah 
mampu untuk melawan lupa. Anwar, dengan sajak-sajaknya, masih tetap 
lekat dalam ingatan. 

Sajak-sajaknya memang mandiri, sejumlah kata-kata asli yang juga 
memberdayakan kemurnian sebuah puisi. 
Mulanya lewat sajak Aku Anwar memang bergerak dalam ranah pribadi, hanya 
dalam getir perasaan. Pun dalam sajak Nisan ia lebih bertumpu pada 
hubungan manusia dengan manusia, entah dalam persoalan asmara ataupun 
lainnya. 

Sejumlah sajak cintanya tidak picisan. Sajak itu tegar, tapi tetap 
digelayuti banyak getar sehingga saat membaca nya ada semacam debar yang 
tak bisa dirumuskan. Padanan diksi yang apik membuat sajak-sajaknya tak 
lagi memiliki celah. Ia membelah (memangkas habis) semua kepanjangan 
kalimat, membuat kata-kata begitu rapat, sekaligus akrab. 
Anwar pun seperti menguliti selapis demi selapis sakit yang dimilikinya. 
Ia menyentuh kedalaman kata itu sendiri. 

Simak Sajak Putih. Bagi saya, itu sajak yang begitu tabah, yang mampu 
`menyihir' di beranda pembukanya: bersandar pada tari warna pelangi/ kau 
depanku bertudung sutra senja/di hitam matamu kembang mawar dan 
melati/harum rambutmu mengalun bergelut senda//. 

Terasa ada `gaung' yang tumbuh dalam sajaknya. Kata-kata yang memadat, 
seperti bergema, memantul-mantul, dan membangunkan kesadaran diri dari 
dalam. Untuk itu, saya setuju dengan Acep Zam-Zam Noor, penyair asal 
Tasikmalaya, jika ukuran puisi yang baik ialah bulu kuduk. Jika dapat 
membuat bulu kuduk bergetar, puisi itu memang baik. Puisi tersebut bisa 
membuat segala indra tubuh tetap bergolak. 

Itu sebagaimana yang dicatat Sutardji Calzoum Bachri. 
Dalam menyair, Anwar selalu bersungguh-sungguh (Isyarat¸ Indonesiatera, 
hal 387). Kerja kepenyairannya begitu serius. 
Untuk mencari satu kata dalam sajaknya, ia membutuhkan waktu yang lama, 
dengan demikian terasa totalitasnya. Begitu besar energi yang 
ditempuhnya untuk merampungkan sebuah sajak. Dengan demikian, sajak-sa 
jaknya dipenuhi energi, tidak lapuk oleh usia, dan acap membahana. 

Menurut Sutardji d a l a m Wawan cara Imajiner dengan Chairil Anwar, 
bagi se orang penyair menulis sajak itu pekerjaan paling serius, paling 
sulit, dan paling berkeringat. Apabila ada yang bilang menulis sajak itu 
gampang, ya, memang gampang kalau menulis sajak itu tujuannya untuk 
lucu-lucu, untuk beraneh-aneh, sekadar perintang waktu. 
O l e h sebab itu, kedudukan penyair yang bersikap menggampangkan puisi 
juga tersepelekan dalam kancah perpuisian. 
Sikap penyair Chairil Anwar ialah seorang penyair yang mempunyai sikap. 
Ia seorang pribadi yang teguh, yang cende rung mengikuti kata hatinya. 
Kebenaran yang dirasakan, baginya, memang terkadang tidak be gitu 
mengasyikkan bagi kehidupannya sendiri. Hal itu da pat dilihat dalam 
sejumlah sejarah hidupnya yang bohemian, cenderung urakan-yang juga 
membuat nya, sebagaimana yang ditulis Sapardi Djoko Damono, sebagai 
lambang seniman di Indonesia. 
Sikapnya dengan keseriusan terhadap puisi pula yang membuatnya bisa 
melampaui apa-apa yang digagas sebelumnya. Itu mele wati seluruh 
pemikiran zamannya. Ia menulis sajak bagaikan sebuah ladang perburuan 
kata. Ia penyair yang menuliskan sajaknya dengan keringat dan air mata. 
Ia pun fokus pada setiap penciptaannya. Demikianlah, membaca Anwar ialah 
membaca sajak-sajak yang tertib kata-kata. 

Sebagaimana yang pernah ditulis Hasif Amini, `Puisi, tenaga rahasia kata 
yang bangkit dari susunan gambar-bunyi dan latar sunyi, yang merangkum 
makna atau melampauinya, adalah tilas dan proses yang memang punya 
sukacita dan kepedihan tersendiri. Ia tak bisa diharapkan datang dari 
hiruk-pikuk atau kalang kabut yang umum. Atau dari amarah yang 
menggembung jadi monster, yang cuma mengenal gerah dan gatalnya sendiri. 
Puisi: setrum yang memercik dari pergesekan huruf hidup dan mati, puting 
beliung yang menggila dari bukit dan lembah sepi, kelopak-kelopak majas 
yang mekar dari dada dan kepala yang merindu yang mencari'. 

Terbukti, apa yang dikerjakannya begitu dahsyat. Menurut hemat saya, ia 
telah melompat jauh jika dibandingkan dengan para pendahulunya. 
Itu sebuah gebrakan yang membuatnya tersohor. 

Hal tersebut tak lepas pula dari sejumlah sajaknya, mengingatkan saya 
akan kalimat K Usman dalam buku yang diberikan kepada saya, `Seorang 
pelopor apabila berhasil ia akan tersohor. Tapi seorang pengekor tak 
akan pernah jadi nomor satu'. 

Memang tak cuma ihwal cinta/asmara yang dipetiknya dalam puisi. 
Sajak-sajaknya berkisah banyak. Dari pelbagai sudut kehidupan. Anwar 
juga mencari Tuhan, persoalan bangsa, ataupun masalah sosial masyarakat 
yang terekam di masa ia hidup. Ia bisa saja berkisah tentang 
religiositas: doa, surga, masjid, Isa, dsb. 
Atau, aksi heroik dalam sajak sadurannya Karawang-Bekasi atau Diponegoro 
dan Persetujuan dengan Bung Karno. 

Anwar, bersama kesung guhan yang dimiliknya, telah meninggalkan jejak 
semangat dalam sajak-sajaknya. Semangat yang mengakar tak pernah pudar 
dalam menuliskan sajak-sajaknya. Pencariannya `penuh seluruh', meminjam 
ungkapannya dalam sajak Doa. 
Ia bilang ke Jassin dalam surat bertiti mangsa 10 April 1944: `Yang 
kuserahkan padamu-yang kunamakan sajak-sajak!-itu hanya percobaan 
kiasankiasan baru. 

Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa tingkat percobaan musti dilalui 
dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya' (Chairil Anwar Aku Ini 
Binatang Jalang, GPU, hal 98). Lewat dirinya, peta puisi Indonesia 
berubah. Melalui dirinya, pembendaharaan kata yang dimiliki bangsa ini 
melompat dengan jauh. Barangkali sajak-sajaknya akan tetap abadi. Gema 
seribu tahun lagi yang dituliskannya akan terbukti. 

Masa 28 April adalah tanggal kematiannya. Kematian yang muda. Meski, Soe 
Hok Gie--yang juga mati muda-dalam catatannya menulis, `Berbahagialah 
orang-orang yang mati muda'. Di tengah gaung globalisasi saat katakata 
menyeruak di antara iklan media massa, slogan atau janji, SMS/BBM, pun 
pada hamparan kata-kata di sejumlah jejaring sosial, apakah sajak-sajak 
Anwar masih layak diingat, dicatat, dan mendapat tempat? 
Namun, ketika membaca sajak-sajaknya, kembali terasa diksi-diksi 
rapatnya terus bersinar penuh pijar. Sajaksajaknya telah berhasil 
mengatasi kesementaraan waktu sehingga bergema lantang: Ingin hidup 
seribu tahun lagi! Ah, Anwar, kata-kata dalam sajakmu masih terus 
bergetar, penyair! 

Jumat, 30 Maret 2012

Tentang Penyair


Seorang penyair merupakan orang yang tak mau diganggu. Namun sebenarnya ia suka juga,mungkin secara sembunyi-sembunyi, sekadar nguping pendapat pembaca, demikian penuturan Sapardi Djoko Damono dalam pengantar kumpulan puisinya, Hujan Bulan Juni.
Sebab, lanjutnya, seorang penyair belajar dari banyak pihak maupun hal-ihwal kehidupan: keluarga, penyair lain, kritikus,pembaca, teman-teman, masyarakat luas, media massa,dsb. Hal itu pulalah yang menyebabkan bahwa dirinya tak hidup sendirian bersama puisinya.Tak cuma penyair dan puisi, tetapi juga pada tatanan hidup masyarakat.
Bisa saja, puisi merupakan petikan dari dunia yang lebih luas,dan mungkin juga ia tersembunyi bersama lembaran kertas-kertas berjilid yang menumpuk. Namun, getar kata nampaknya selalu ada dan berpijar. Ia seperti kekal,mengabadikan potret hidup manusia yang mungkin gemar dengan kekacauan ini.
Pembelajaran yang ditempuh oleh penyair bermacam-macam, ada yang mengangkat hal-hal sederhana dari kehidupan yang acap kali luput dari pikiran “orang kebanyakan”. Dalam hal itu, dengan bahasa sederhananya merujuk Sutardji Calzoum Bachri, penyair ialah seseorang yang menemukan bahasa, terus-terusan mencari, dan merupakan kerja yang serius.
Maka, “sesuatu yang kelak retak akan dibuat abadi”. Tengoklah bagaimana puisi bermainmain di tengah jerat makna, semacam halnya Joko Pinurbo, “Kepada Puisi”: Engkau mata/Aku air mata.Atau dalam “Pelajaran Menulis Puisi”. Penyair, sebagai penemu bahasa itu sendiri,senantiasa mengucapkan sesuatu dengan “terbata” menemukan pelbagai sketsa, tanda, ruang waktu.
Mencampur aduk realita dan imajinasi,memainkan bunyi, repetisi, dan sebuah jeda sunyi. Hal-hal yang membuat dada tersirep saat membaca sebuah puisi yang bagus, yang menenggelamkan dalam pusara tanpa ujung, di mana sebuah makna kehidupan dapat dipetik dengan luas lagi. Meskipun kita mengeluhkan beberapa kegagalan dalam membaca,semacam riuhnya teks yang berpola sehingga tak masuk ke kepala.
Keanehan pemakaian diksi yang acap kali menemui pintu kemubaziran. Tapi penyair terus berupaya menjebak kata, memain-mainkannya dalam sebuah perangkap, memerasnya, kemudian menuliskan. Sesekali menemukan kegagalan dalam menulis puisi, inspirasi yang buntu,ide yang cenderung dipaksakan, tanda titik yang bertindak “gila-gilaan”,dan melulu ingin berhenti.
Atau koma yang selalu berlanjut, senantiasa berbuntut terhadap sejarah katakanlah. Kerja kepenyairan memang menguras waktu banyak. Sebagai pengamat dari kehidupan yang luas ini,sesungguhnya penyair sadar bila ia menulis hanya untuk hal-hal yang kecil.Hanya pilahanpilahan peristiwa, fragmen yang setengah, cuplikan realita yang tak akan pernah digarap dengan sempurna. Dunia penyair selalu dipenuhi dengan perenungan-perenungan.
Semacam filsuf yang berkutat dengan medan kata-kata. Seluruh rasa, jiwa, karsa berkutat di sana. Pekerjaannya serius karena habis-habisan mencurahkan energi sekaligus kemampuan. Meski akhirnya Sutardji mengakui secara logis: Walau penyair besar/ Alifbataku tak sebatas Allah.(Puisi “Walau”).Selalu ada denyut kerinduan untuk pulang kembali ke hadapan sosok pencipta. Sebab, ilmu Allah demikian luas sehingga tak bisa ditandingi dengan ilmu manusia.
Lewat puisi, seorang penyair berkabar dengan karyanya.Terutama mengingat dirinya tak hidup sendirian.Meskipun dalam puisinya terkesan: Mampus kau ditikam sepi! (Chairil Anwar). Sebuah puisi adalah kelindan antara jarak yang membentangkan realita itu sendiri, di mana selisik sepi sesungguhnya bermain di sana. Setiap getaran yang riuh dalam kata-kata,sesungguhnya kembali juga pada asal mula kata: sunyi itu bermula. Sunyi yang melontar kau ke pusara waktu, (Iswadi Pratama).
Lalu adakah harapan yang tebersit dari kerja semacam ini? Apakah semuanya, Memang layak dicatat, dan mendapatkan tempat?(Chairil Anwar) Sementara, kehidupan terus berputar. Kita dihadapi dengan pelbagai kisah tragedi kemanusiaan, kekejaman, kebahagiaan, kaya, miskin, penindasan, penghilangan nyawa seseorang, seks yang tak lagi tabu dibicarakan di luar kamar tidur, dsb.
Dan para penyair pun terjerngah, berupaya membangun bahasa ibunya sendiri (Joko Pinurbo), menemukan bahasa selain yang ditemukan dalam berbagai surat kabar, catatan-catatan kerja,karya ilmiah,dll. Penyair bergelut dalam ruangnya yang dipenuhi dengan kesakitan yang menyergap.
Di mana kata-kata menjadi slogan dan omong kosong. Ia merasa kata-kata telah lama dikhianati, dan penyair berusaha untuk mengobati,menidurkan, dan menyembuhkannya. Bukan sebagai dokter, tetapi ia memakai kata-kata dengan tenaga yang lain. Barangkali, yang tak pernah tersirat dalam pikiran orang lain. Sebagai perlawanan untuk membendung realitas yang lebih kejam dari dunia.
Di jagat dunia kita temui berbagai puisi perlawanan yang ditulis Pablo Nerudda, Pushkin, atau ingatan kita melayang saat tahun-tahun kacau di Tanah Air di bawah tekanan rezim pemerintahan yang paranoid terhadap sastra, kita punya: W. S.Rendra,Wiji Thukul,Taufiq Ismail,Agus R Sarjono,dan Emha Ainun Nadjib.Pemberontakan yang dilakukan angkatan 70’-an; Sutardji dengan “Ngiau”-nya yang berusaha membebaskan beban makna terhadap kata.
Ah, betapa puisi merupakan pusat dari segala air mata. Menempuh kelokannya sendiri, penyair yang tak habishabis berusaha menemukan “tenaga baru”dari sebuah kata dan makna.Puisi yang berkelebat antara bayangan maut kata-kata yang menyergap. Nampaknya berupaya untuk menata, atau merakit kembali sakit yang lama hinggap dalam kata.
Puisi berusaha menyibak segala kegetiran yang tak kunjung sembuh dalam kehidupan manusia.Barangkali,dengan memberikan sejumlah jalan lain, mungkin terkesan agak sinting, urakan, dan sakit-sakitan. Maka Sapardi pun berkeluh: Demikianlah maka burung-burung tak betah lagi tinggal dalam sarang di sela-sela kalimat-kalimatku sebab sudah begitu rapat sehingga tak ada lagi tersisa ruang. Tinggal beberapa orang pemburu yang terpisah dari anjing mereka menyusur jejak darah, membalikkan dan menggeser setiap huruf kata-kataku, mencari binatang korban yang terluka pembuluh darahnya itu. (“Sajak,2-Hujan Bulan Juni”). Begitu banyak pemburu kata, yang menggunakan kata sesuka hatinya.
Demi kampanye, propaganda, iklan, sehingga tak begitu banyak ruang yang tersisa bagi penyair.Tinggal sebatas lelah yang mencabik, sebuah kerja yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan dirinya untuk masuk penuh dalam puisi. Puisi yang membangkitkan seluruh aura kata-katanya yang membius. Meskipun Iswadi melanjutkan: aku teringat Nietzche di tengah swalayan tapi yang kubutuhkan cuma seikat sayuran bukan Zarathustra dongeng tentang para pengembara atau hamparan puisi para penyair…
Ya, pada akhirnya puisi terbentur menghadapi realitas itu sendiri.Yang memang sungguh kejam.Ketika di swalayan seseorang hanya membutuhkan seikat sayuran bukan buku-buku yang menenggelamkan dalam pusaran,kemudian mengajaknya tamasya ke negeri ilusi para penyair.
Atau Joko yang bermain dengan diksi-diksinya: Matakata menyala melihat tetes darah di matapena (“Matakata”-Kekasihku) Pun dalam paragraf terakhir puisi “Malam Pertama”: Apakah kata-kata mempunyai ibu? Aku mencoba mengingat-ingat lagi apa kata ibu. Aku sering lupa dulu ibu suka berkata apa. Aku gemetar.Tubuhmu makin cerdas dan berbahaya. Ibukata,temanilah aku. (2003)
* Alex R Nainggolan, Penikmat Sastra, Tinggal di Jakarta.
Seputar Indonesia, 29 Juli 2007

Minggu, 25 Maret 2012

Bunuh Diri

Bunuh Diri

Hari-hari ini makin banyak kita dikejutkan oleh perangai orang-orang yang memilih tragis untuk mengakhiri hidupnya. Dalam pelbagai berita termuat bagaimana upaya orang-orang itu untuk menghabisi kehidupannya sendiri. Untuk memilih mengakhiri kehidupannya, entah karena patah hati, terlilit utang, gagal dalam ujian, atau melakukan bom. Yang terakhir ini memang bukan cuma dirinya yang mati, melainkan setidaknya yang diharapkan oleh si pelaku ada orang lain juga yang tewas.
Maka kita pun dihadapkan dalam ketercengangan panjang. Betapa hidup selalu berkelindan membentuk misterinya sendiri. Setiap rangkaian kejadian—suatu hal yang menyebabkan kehilangan nyawa dirinya sendiri, membuat kita terkejut, menjerit, menggelengkan kepala. Betapa hidup terasa kerdil dan pintas.
Apapun caranya bunuh diri, bagi setiap agama tentu merupakan dosa besar. Lalu kita pun mencatat pula upaya-upaya orang terkenal yang memilih mengakhiri hidunya, entah karena trauma atau lainnya semacam yang dilakukan Kurt Cobain, vokalis cum gitaris band Nirvana—yang memilih untuk menembak kepalanya sendiri dengan timah panas.
Saya kira bunuh diri sendiri mempunyai catatan panjang dalam kehidupan ini. Betapa kegiatan yang, menurut saya binal ini—karena acap si pelaku merasakan kesakitan yang panjang sebelum mati, merupakan suatu tekanan mental. Ketika orang melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawanya sendiri, itu berarti moral di dalam dirinya telah tamat. Ia tak lagi mampu mencatat riwayat sebelumnya. Ia adalah seorang yang ”gagal” untuk memaknai hidupnya.
Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran. Untuk itu diperlukan sikap yang berani, bukan dengan cara menghabisi dirinya sendiri. Kemungkinan lain, semacam hal yang dilakukan dengan bom bunuh diri. Si pelaku memang ingin terkenal, dengan melakukan bom bunuh diri maka banyak orang yang membicarakannya. Ia mendadak jadi buah bibir, meskipun dengan kategori yang meresahkan bagi kehidupan sosial masyarakat. Peristiwa yang terjadi menasbihkan dirinya untuk dicatat walaupun dengan kapasitas sebagai teroris.
Tidak heran jika Camus pernah berkata—sebagaimana yang dikutip Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir-nya: “Para penakluk modern dapat membunuh, tapi tampaknya mereka tak mampu mencipta. Dengan keberlangsungan bom bunuh diri; entah semangat apa yang akan diraih; makin mengeraskan ingatan kita, betapa psikologi manusia merupakan rangkaian yang mudah dipengaruhi. Entah faktor kebencian macam apa yang membuat dirinya tega untuk membantai sesama manusia.
Segalanya serupa sebuah ulangan, peristiwa kehidupan yang melulu terjadi. Semacam pepatah lama, “mati satu tumbuh seribu.”
Dalam sajaknya Chairil Anwar, pernah bilang, “Sekali berarti, sudah itu mati.” Sebuah ungkapan yang “keras” — terutama ketika berhadapan dengan kehidupan itu sendiri. Meskipun hal tersebut dibantah pula oleh Sutardji Calzoum Bachri ihwal kepenyairan, yang memang mesti berkali-kali berarti, baru sudah itu mati.
Sebuah kematian acap menghidupkan sisi lainnya. Ia bukan sekadar menghilangnya roh dari jasad, ia meninggalkan semacam guratan tersendiri. Bahkan untuk kematian yang wajar, terlebih lagi bunuh diri. Sebuah usaha penghilangan nyawa, yang dilakukan dengan kesadaran sendiri. Ia yang ternyata tak penuh mengkhidmati kehidupan itu sendiri. Orang-orang yang melakukannya memang dilanda tekanan yang amat sangat. Hal yang membuatnya berpikir, untuk merajah tubuhnya sendiri. Menyakiti dirinya sendiri dan menjadi algojo bagi dirinya sendiri pula.
Lain dengan hal bom bunuh diri. Berhadapan dengan kondisi inii, kita seperti bertemu dengan sebuah pertanyaan yang agak ngambang? Mengapa ia bisa dengan tega melakukannya? Pertanyaan yang jawabannya sebenarnya telah kita ketahui bersama. Sebuah tragedi kemanusiaan, pembunuhan sesama, dengan bom bunuh diri—tentunya jika dikaitkan dengan agama, merupakan suatu yang omong kosong. Sebab bagaimanapun agama di bumi ini, tak pernah ada yang mengajarkan hal-hal semacam itu.
Hal tersebut itu pulalah yang membuat Goenawan kembali menulis dalam Catatan Pinggir-nya, tentang bom—yang ternyata masih ada orang yang percaya bahwa pembunuhan, bahkan pembantaian anak-anak, bisa halal. (Catatan Pinggir 5, hal. 24). Suatu hal pula, yang membuat kita tak percaya bila sesungguhnya ada kerukunan dan persaudaraan di negeri ini. Kejadian yang mengabaikan kita akan maknanya keberagaman, meruncingkan setiap perbedaan. Sehingga belati yang tajam itu singgah di sekitar kita, di hadapan kita, bertemu dan berjumpa di sejumlah gedung yang meledak, atau di keramaian dan bertemu dengan orang-orang yang tak pernah tahu apa-apa. Akhirnya memang kita sendiri yang tertusuk oleh belati.
Sebuah bunuh diri, yang meninggalkan aroma bangkai yang lain. Meregangnya nyawa yang lain. Dan seolah tak pernah puas, menjelma menjadi pembenaran baginya untuk terus melakukannya. Bunuh diri yang diyakini bakal bisa membuat dunia menjadi seragam.
Kita pun memandang efek berangkai tersebut. Sebuah perbedaan yang sengaja dipupuk sehingga melahirkan permusuhan, dendam atau segala sifat yang bermakna sama. Bunuh diri yang dilakukan menjadi sebuah lingkaran luas, bukan sekadar menghilangkan dirinya sendiri, melainkan juga saudaranya: sesama manusia.
Bentangan fragmen itu akan menjadi lebih panjang jika kita mengingat sejarah dunia lainnya. Maka perang pun akan kerap meletus tak pernah usai. Mulanya hanya bersifat pribadi, akhirnya meluas. Gejolak itu terus meluap. Dan kita memercayainya sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang paling subur. Kita tak pernah hendak untuk melupakannya. Kita berusaha keras untuk terus membentangkan ingatan, jika ada sekelompok yang tak pernah percaya pada keberagaman. Ia tak pernah percaya jika setiap manusia berbeda, bahkan untuk orang yang dilahirkan kembar sekalipun.
Mungkin pula orang-orang semacam itu telah buta warna. Ia hanya memercayai satu warna. Baik itu hitam ataupun putih. Ia tak pernah melihat pelangi dengan warna-warna lainnya. Ia hanya mengerti satu warna yang dianggap baginya paling baik. Sayangnya kita luput untuk sekadar mencegah, atau menebalkan garis dengan nyata. Jika memang kita berbeda antara satu lainnya. Dan yang hadir cuma sebuah keyakinan buta, jika yang berbeda adalah musuh. Untuk itu pula dihalalkan bahkan untuk dibunuh sekalipun.
Ada sebuah kata mutiara, apabila kita ingin menjadi bijak dari peristiwa-peristiwa yang lalu dan sudah terjadi, seharusnya kita belajar dari sejarah. Namun, tampaknya kita belum bisa merenung lebih jauh, kita cenderung meninggalkan sejarah-sejarah umat manusia yang kelabu itu. Kita lebih suka menatap masa depan yang gemilang dan penuh kecemerlangan. Padahal dalam sejarah umat manusia, dampak dari tragedi kemanusiaan, hingga sebuah perang berlangsung—pada akhirnya yang susah kita sendiri. Apabila sebuah perang berlangsung, kita akan kehilangan segalanya, kehilangan orang-orang yang pernah dicintai, kehilangan harta, kehilangan kehormatan, kehilangan budaya untuk saling memaafkan. Dan, dampaknya tentu yang lebih kejam, kita senantiasa memandang dengan mata dan jiwa yang dipenuhi dendam.
Cerminan bunuh diri semacam ini memojokkan kita pada sebuah labirin yang sesat. Lalu memercayainya; jika memang ada orang semacam itu, mengorbankan nyawanya sendiri dan membunuh yang lainnya. Dan kerusakan yang tertinggal merupakan sebuah akhir yang mungkin tak berujung. Tragis!


Sabtu, 24 Maret 2012

Melepas Puisi









Sesekali aku ingin sekali melepas sebuah puisi padamu. Mungkin sebuah puisi buruk. Jauh dari ceruk anganmu. Berkisah tentang hal sederhana tentang hidup. Menculik sebagian fragmen dalam keseharianmu. Tapi aku begitu sendiri, saat ini, kawan. Kata-kata urung keluar dari lubuk hati. Kata-kata yang hadir malah—terkesan cuma dipaksakan. Tak ada lagi bekas penganiayaan di sana—yang kata orang—akan asik jika sedang patah hati menulis puisi. Di mana semua kesedihan mencuat di dalamnya. Tapi aku sekarang ogah untuk sakit hati. Ingin hidup yang happy saja. Senang-senang-dan senang. 
Beberapakali, aku melakukan percobaan-percobaan kecil dengan mengaduk kata sekenanya. Menulis puisi dan jadi. Aku kira hal semacam itu sudah selesai. Tapi nyatanya, terasa lugu. Bahkan ketika kubaca lagi sajak-sajakku yang lampau. Terasa ada saja hal-hal yang kurang mesti ditambahi, pun kukurangi lagi. 
Jika pada suatu ketika seorang penyair memberi saran padaku untuk menyuntuki satu biji puisi. Maka aku akan buang mentah-mentah pendapatku. Bagiku sekarang puisi untuk happy saja. Aku rasa itu sudah cukup. Tak perlu lagi membuat orang yang membacanya berkerut-kening hingga jungkir balik—atau malah tak ketemu apa manfaatnya ketika membaca. 
Ah, maaf jika penafsiran kita terkadang lain. Atau mungkin ketika engkau membaca puisi-puisiku malah ketemu hal-hal yang lain juga. Barangkali engkau malah bertemu dengan narasi kesombongan, beberapa helai kesedihan, atau estetika sunyi yang tak jadi digeledah. Aku ingin sekali membawa catatan-catatan puisiku; melepasnya ke suatu tempat. Media massa, laut, atau apapun. Melepasnya begitu saja. Membiarkan kata-kata itu sendirian, syukur alhamdulillah kalau ia bisa bebas—sekaligus besar dengan sendirinya. 
Syukur juga, kalau puisi-puisi itu kembali menemuiku lagi. Setelah beberapa tahun. Dan aku membacanya, dengan geli di hati. Ketika membacanya kembali, tiba-tiba aku kepingin merubahnya, menambahnya lagi. Tapi engkau pasti bilang jika itu tanda seseorang yang tak konsisten, bukan? Ah, jangan terlalu serius, kawan! Bukankah yang abadi malah perubahan itu sendiri? Dengan berubah (sajak-sajak), maka ia akan menemui lagi pembacanya dengan bentuk yang lain.  

22 FRAGMEN BUAT PENYAIR





22 FRAGMEN BUAT PENYAIR




1/
mungkin, aku tak pernah lengkap menghitung diri
termangu memanjat waktu
bersama patahannya. “tak ada tangga menuju surga,”
sementara di pucuk hari senja terus saja berlahiran di pohon-pohon ketapang
makin samar dan menghitam, kelak jadi malam

ah, pergi saja kau descartes
sebab aku semakin malas berpikir
ingatanku lemas, tak mengalir
tentang sebuah syair yang kesepian
dan, karena itu aku merasa tak ada. 
bukankah, katamu, kita mesti berpikir
dulu kalau mau dianggap ada?

meski di usia ke-22 ini, saban malam aku menyilet kalimat
menyemai rindu yang larat dan tambah berat
tapi aku selalu tak bertemu engkau
duh, di mana kamu?

2/
pernah aku angankan kelahiran baru
di mana kata-kata ngerubung mirip semut
meniti jalannya sendiri-sendiri
memungut kesendirianku
tapi bagaimana aku dapat melahirkannya? ingatanku tak lagi lekat 
pada garba bunda
walau pintu terus saja terbuka, menyeret masa lalu sampai lampus

sebentar, aku kenang dulu para tetua
moksa dan luka. ah, betapa aku ingin melacak peta tubuhku yang sempat
luruh. di batang silsilah
meski, seperti kau bilang, selalu ada yang berdetak, setiap kali
lembar hari berganti
begitulah, aku ingin menangis lagi
seperti bayi. menjenguk nyala matahari pagi yang lesap ke dalam pori




3/
cuma genang diriku. masuki lorong-lorong solitude
terlelap dalam permainan kartu yang lungkrah di atas meja, terbuka
meski bagiku, tanggal lahir nampak semilir
tak mampu dijaga, tanda diri yang telah lahir
katakanlah, sebagai pahat jejak yang lama berkerak
dari biografi tubuh di ruas kalimat, bicara syair yang ngembara ke negeri saga
maka segera kulupakan rimbaud, dengan negeri syairnya
yang menelikungku dalam belantara angin, selalu ngalir dalam beku kata-kata
pun paz, yang tak selalu pas melacak suara lain
begitu asing dan dingin

4/
apakah aku selalu bertemu denganmu? di mana? di sebuah pasar yang sesumbar
di tengah derau puisi yang makin parau. biarpun, nyeri masih tinggal gentar
lelaki yang kerap mengasah belati kata sampai badannya berdarah
tetapi kata-kata selalu basah, lemah, dan lelah

5/
barangkali aku cuma tinggal sejarah
sebab selalu ada orang gila yang muncul dari sajak-sajak, minta dituntun
ke pintu cahaya. tetapi selalu ada matahari yang lain, nampak begitu pasi
dan nyendiri

o, dusta yang laknat, mengapa tetap kukerat? 
berapa banyak rindu yang tenggelam hilang di tengah pelabuhan sunyinya sendiri
tertinggal perahu untuk melarung laut?
sayang, perempuanku juga lenyap, diminum hujan sampai demam
dan aku terperosok ke dalam kangen yang ngilu
membuka jajaran kenangan yang tumpang tindih
dengan berita di halaman surat kabar
hambar. menakar kelakar yang tak lagi berdenyar

6/
namun selalu ada arca baru dari puisi
jadi patung yang mutung. betapa kelahiran ini telah mengambil separuh
usiaku, mengingat wajah ibu
meski aku terus saja menabung luka, menyimpan sobekan surat
cinta yang tak jadi kukirim buatmu

aha, kelahiran ini pun sebenarnya tak lagi punya airmata
sekadar menandakan perih atau gembira






7/
sekalian saja, aku tulis dirimu. penuh dengan kalimat keluh
di gelap kata-kata, mungkin di gang-gang sempit tempat tinggalku
berkisah sederhana yang melulu terlupa
keganjilan kita yang melecut parut usia, supaya cepat lari
mengajar waktu
atau, mungkin kita berani menantang malaikat sekadar turut mencipta puisi?

sayangku, puisi siapa yang benar-benar kau kenal?
anwar, rendra, tardji, taufiq, sapardi, gm, jokpin, atau penyair yang gigil mengudap
peluh di jaket yang lusuh?



8/
pernah kau bilang, dulu sekali, sajak ini tak pernah sampai
cuma kata-kata rapuh yang mengeluh
mengelupas huruf demi huruf
sampah aksara. namun, siapa yang hilang? selain para filosof abad lalu yang 
sibuk dengan enigma
bangga dengan kelinglungannya sebagai manusia
seakan membuka metafora dalam tubuhmu
lalu dari kata-kata itu, kau menyaringnya
sampai bening. barangkali akan kau minum sebelum tidur
memasukkan mereka dalam lembaran arsip di lemari buku
juga ruas kepala

9/
oh, kawan, sebenarnya apa yang telah kau lahirkan? kok, tambah hari
rasanya dirimu tambah bingung. mencacah sejarah
kau capek? berbulan-bulan dikerjain puisi
ke mana pacarmu, kawan? 
ia menjawab, lariiiiiiii….!!!!! pacarku, pulang kampung halaman,
ketika aku kirimkan SMS yang setengah matang, sambil memandang
sedap-sedap pohon ketapang, dengan kesiur angin telanjang
yang nyunsep di halaman

o, kau tak lagi merindukannya? 
ya, merci, aku tak lagi takjub 
pada kemilau cinta, katamu, cuma penjara

dan, malam itu, perempuan itu, bekas pacarmu
pergi sendirian ke kampung halaman dengan bis malam
menembus hujan dan kelokan




10/
hari ini kau berulang tahun penyair? jangan lihat wajahmu
di cermin. nanti freud datang lagi, berikan kuliah tentang seks
juga pelajaran biologi di masa puber
berdoa sajalah, penyair. semoga syairmu tambah kemilau
tetap memukau

o, ya? kau berulang tahun, penyair? 
jangan tutup pintu dan jendelamu
ada seseorang mau masuk, membawa kue, juga kado
dan sebatang lilin, berangka: 22

11/
hari-hari lunglai. sesekali, kau ingat kawan-kawan lama yang ngendon dalam
kepala. aih, siapa kamu?, apa kamu diriku sendiri?, lalu siapa dong aku?
wah ini mah cuma sandiwara yang tak bicara. capek. monolog
bisu yang mengisap lembab di ulang tahunmu. sama sekali tidak lucu!


12/
seseorang mengirim kado buatmu. tetapi yang tertulis di secarik kertas
adalah namaku. ehm, dari perajin kata-kata. sialan. menamai benda seenaknya
diancuk. dia pikir siapa dirinya? dewa? atau adam yang letih mencari hawa?
duh, ke mana si tua paz pergi?
ayo, bung, sebagai lelaki mestinya kau tak miskin imaji
masih banyak warna pelangi yang tak lengkang ditandai


13/
ibu, rahimmu terbuka lagi. tapi jangan lagi kau kirim aku ke situ
hormat dari anakmu yang menguji nyali
merakit sunyi dalam puisi
meski aku masih ingat hangatnya, juga semua impuls yang menyentakku
dengan lenguhmu, bersama anyir darah
izinkan, aku sekadar mengenang perihnya
terlontar ke bumi, terlahir sebagai lanangmu

14/
ah, kapan kau main ke rumahku. kutunggu berwaktu-waktu
ada banyak buku yang belum terbaca. mungkin, engkau
bisa lama-lama menafsir di sana, juga membaca sebagian riwayat yang terpenggal
kok, pengarang jadi tukang jagal? tak mampu bikin autobiografi
diri sendiri. atau, semua itu dari dirimu sendiri?





15/
mungkin, kau akan bertanya begini, 
“mengapa dunia selalu berhubungan dengan angka-angka”
-- supaya tak lekas lupa--
selalu ada matematika, di arloji, kalender, juga usia? o ya berapa usiamu sekarang?

angka-angka itu, selalu kau benci sejak duduk di bangku sekolah
berseregam putih-biru. kau selalu merasa takut, jika guru menunjukmu
untuk ke depan kelas, mengerjakan soal-soal
betapa ruwetnya dunia, pikirmu

16/
kemungkinan lainnya, tebakmu, di kota lahir juga puisi-puisi segitiga
narasi manusia bingung yang mengukir transkrip mimpinya

17/
maka kau membayangkan lingkaran baru. yang selalu menjebakmu
dengan ilusi-ilusi, bayang kupu-kupu, di mana kau tetap kembali ke tempat
semula

18/
hari ini jumat terasa berat
kau ingin menggapai-gapai liur januari, di mana dingin hujan
selalu tertahan di bola matamu. dan senja ini kau memutuskan untuk
tidak pulang ke rumah, berjalan-jalan di rerindang pohon ketapang
sampai masa kecil muncul lagi. tiba-tiba tubuhmu meriang
kau ingat wajah ibu, muncul di sela-sela napasmu
merapikan doa-doa, yang lama hambur

19/
sia-sia kau kerat dirimu. nyatanya napasmu kian sesak
tak mau bergerak. dan, kau merasa mimpimu jadi bencana
petaka yang selalu membekas, kenanganmu lemas
seperti jerat umur yang suatu saat akan terkubur
semua kenangan emas yang makin keras

20/
ehm, aku ingin mendengarkan blues. musik dari tanah-tanah orang
berkulit hitam. mengusir gelisah yang lama. supaya luka tak lagi bundar
supaya aku tak melulu terkapar

21/
lalu kuingat ciumanmu. meski terasa hambar sekarang
benarkah kau benar-benar kukenal, katakanlah, sekian waktu 
mengisi kolam hidupku. dan, dari kejauhan, aku mendapati matahari yang lain
membuka hari yang dingin
pergi tolstoy, jangan masuk dalam kepalaku
aku tak mau mati kesepian sepertimu

22/
sudahlah, tiup lilin itu. semoga panjang umur, penyair! 




(Termuat di Antologi Akulah Musi, Pertemuan Sastrawan Nusantara Palembang)