Mengenai Saya

Foto saya
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll. Bekerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Minggu, 25 Maret 2012

Bunuh Diri

Bunuh Diri

Hari-hari ini makin banyak kita dikejutkan oleh perangai orang-orang yang memilih tragis untuk mengakhiri hidupnya. Dalam pelbagai berita termuat bagaimana upaya orang-orang itu untuk menghabisi kehidupannya sendiri. Untuk memilih mengakhiri kehidupannya, entah karena patah hati, terlilit utang, gagal dalam ujian, atau melakukan bom. Yang terakhir ini memang bukan cuma dirinya yang mati, melainkan setidaknya yang diharapkan oleh si pelaku ada orang lain juga yang tewas.
Maka kita pun dihadapkan dalam ketercengangan panjang. Betapa hidup selalu berkelindan membentuk misterinya sendiri. Setiap rangkaian kejadian—suatu hal yang menyebabkan kehilangan nyawa dirinya sendiri, membuat kita terkejut, menjerit, menggelengkan kepala. Betapa hidup terasa kerdil dan pintas.
Apapun caranya bunuh diri, bagi setiap agama tentu merupakan dosa besar. Lalu kita pun mencatat pula upaya-upaya orang terkenal yang memilih mengakhiri hidunya, entah karena trauma atau lainnya semacam yang dilakukan Kurt Cobain, vokalis cum gitaris band Nirvana—yang memilih untuk menembak kepalanya sendiri dengan timah panas.
Saya kira bunuh diri sendiri mempunyai catatan panjang dalam kehidupan ini. Betapa kegiatan yang, menurut saya binal ini—karena acap si pelaku merasakan kesakitan yang panjang sebelum mati, merupakan suatu tekanan mental. Ketika orang melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawanya sendiri, itu berarti moral di dalam dirinya telah tamat. Ia tak lagi mampu mencatat riwayat sebelumnya. Ia adalah seorang yang ”gagal” untuk memaknai hidupnya.
Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran. Untuk itu diperlukan sikap yang berani, bukan dengan cara menghabisi dirinya sendiri. Kemungkinan lain, semacam hal yang dilakukan dengan bom bunuh diri. Si pelaku memang ingin terkenal, dengan melakukan bom bunuh diri maka banyak orang yang membicarakannya. Ia mendadak jadi buah bibir, meskipun dengan kategori yang meresahkan bagi kehidupan sosial masyarakat. Peristiwa yang terjadi menasbihkan dirinya untuk dicatat walaupun dengan kapasitas sebagai teroris.
Tidak heran jika Camus pernah berkata—sebagaimana yang dikutip Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir-nya: “Para penakluk modern dapat membunuh, tapi tampaknya mereka tak mampu mencipta. Dengan keberlangsungan bom bunuh diri; entah semangat apa yang akan diraih; makin mengeraskan ingatan kita, betapa psikologi manusia merupakan rangkaian yang mudah dipengaruhi. Entah faktor kebencian macam apa yang membuat dirinya tega untuk membantai sesama manusia.
Segalanya serupa sebuah ulangan, peristiwa kehidupan yang melulu terjadi. Semacam pepatah lama, “mati satu tumbuh seribu.”
Dalam sajaknya Chairil Anwar, pernah bilang, “Sekali berarti, sudah itu mati.” Sebuah ungkapan yang “keras” — terutama ketika berhadapan dengan kehidupan itu sendiri. Meskipun hal tersebut dibantah pula oleh Sutardji Calzoum Bachri ihwal kepenyairan, yang memang mesti berkali-kali berarti, baru sudah itu mati.
Sebuah kematian acap menghidupkan sisi lainnya. Ia bukan sekadar menghilangnya roh dari jasad, ia meninggalkan semacam guratan tersendiri. Bahkan untuk kematian yang wajar, terlebih lagi bunuh diri. Sebuah usaha penghilangan nyawa, yang dilakukan dengan kesadaran sendiri. Ia yang ternyata tak penuh mengkhidmati kehidupan itu sendiri. Orang-orang yang melakukannya memang dilanda tekanan yang amat sangat. Hal yang membuatnya berpikir, untuk merajah tubuhnya sendiri. Menyakiti dirinya sendiri dan menjadi algojo bagi dirinya sendiri pula.
Lain dengan hal bom bunuh diri. Berhadapan dengan kondisi inii, kita seperti bertemu dengan sebuah pertanyaan yang agak ngambang? Mengapa ia bisa dengan tega melakukannya? Pertanyaan yang jawabannya sebenarnya telah kita ketahui bersama. Sebuah tragedi kemanusiaan, pembunuhan sesama, dengan bom bunuh diri—tentunya jika dikaitkan dengan agama, merupakan suatu yang omong kosong. Sebab bagaimanapun agama di bumi ini, tak pernah ada yang mengajarkan hal-hal semacam itu.
Hal tersebut itu pulalah yang membuat Goenawan kembali menulis dalam Catatan Pinggir-nya, tentang bom—yang ternyata masih ada orang yang percaya bahwa pembunuhan, bahkan pembantaian anak-anak, bisa halal. (Catatan Pinggir 5, hal. 24). Suatu hal pula, yang membuat kita tak percaya bila sesungguhnya ada kerukunan dan persaudaraan di negeri ini. Kejadian yang mengabaikan kita akan maknanya keberagaman, meruncingkan setiap perbedaan. Sehingga belati yang tajam itu singgah di sekitar kita, di hadapan kita, bertemu dan berjumpa di sejumlah gedung yang meledak, atau di keramaian dan bertemu dengan orang-orang yang tak pernah tahu apa-apa. Akhirnya memang kita sendiri yang tertusuk oleh belati.
Sebuah bunuh diri, yang meninggalkan aroma bangkai yang lain. Meregangnya nyawa yang lain. Dan seolah tak pernah puas, menjelma menjadi pembenaran baginya untuk terus melakukannya. Bunuh diri yang diyakini bakal bisa membuat dunia menjadi seragam.
Kita pun memandang efek berangkai tersebut. Sebuah perbedaan yang sengaja dipupuk sehingga melahirkan permusuhan, dendam atau segala sifat yang bermakna sama. Bunuh diri yang dilakukan menjadi sebuah lingkaran luas, bukan sekadar menghilangkan dirinya sendiri, melainkan juga saudaranya: sesama manusia.
Bentangan fragmen itu akan menjadi lebih panjang jika kita mengingat sejarah dunia lainnya. Maka perang pun akan kerap meletus tak pernah usai. Mulanya hanya bersifat pribadi, akhirnya meluas. Gejolak itu terus meluap. Dan kita memercayainya sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang paling subur. Kita tak pernah hendak untuk melupakannya. Kita berusaha keras untuk terus membentangkan ingatan, jika ada sekelompok yang tak pernah percaya pada keberagaman. Ia tak pernah percaya jika setiap manusia berbeda, bahkan untuk orang yang dilahirkan kembar sekalipun.
Mungkin pula orang-orang semacam itu telah buta warna. Ia hanya memercayai satu warna. Baik itu hitam ataupun putih. Ia tak pernah melihat pelangi dengan warna-warna lainnya. Ia hanya mengerti satu warna yang dianggap baginya paling baik. Sayangnya kita luput untuk sekadar mencegah, atau menebalkan garis dengan nyata. Jika memang kita berbeda antara satu lainnya. Dan yang hadir cuma sebuah keyakinan buta, jika yang berbeda adalah musuh. Untuk itu pula dihalalkan bahkan untuk dibunuh sekalipun.
Ada sebuah kata mutiara, apabila kita ingin menjadi bijak dari peristiwa-peristiwa yang lalu dan sudah terjadi, seharusnya kita belajar dari sejarah. Namun, tampaknya kita belum bisa merenung lebih jauh, kita cenderung meninggalkan sejarah-sejarah umat manusia yang kelabu itu. Kita lebih suka menatap masa depan yang gemilang dan penuh kecemerlangan. Padahal dalam sejarah umat manusia, dampak dari tragedi kemanusiaan, hingga sebuah perang berlangsung—pada akhirnya yang susah kita sendiri. Apabila sebuah perang berlangsung, kita akan kehilangan segalanya, kehilangan orang-orang yang pernah dicintai, kehilangan harta, kehilangan kehormatan, kehilangan budaya untuk saling memaafkan. Dan, dampaknya tentu yang lebih kejam, kita senantiasa memandang dengan mata dan jiwa yang dipenuhi dendam.
Cerminan bunuh diri semacam ini memojokkan kita pada sebuah labirin yang sesat. Lalu memercayainya; jika memang ada orang semacam itu, mengorbankan nyawanya sendiri dan membunuh yang lainnya. Dan kerusakan yang tertinggal merupakan sebuah akhir yang mungkin tak berujung. Tragis!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar