22 FRAGMEN BUAT PENYAIR
1/
mungkin, aku tak pernah lengkap menghitung diri
termangu memanjat waktu
bersama patahannya. “tak ada tangga menuju surga,”
sementara di pucuk hari senja terus saja berlahiran di pohon-pohon ketapang
makin samar dan menghitam, kelak jadi malam
ah, pergi saja kau descartes
sebab aku semakin malas berpikir
ingatanku lemas, tak mengalir
tentang sebuah syair yang kesepian
dan, karena itu aku merasa tak ada.
bukankah, katamu, kita mesti berpikir
dulu kalau mau dianggap ada?
meski di usia ke-22 ini, saban malam aku menyilet kalimat
menyemai rindu yang larat dan tambah berat
tapi aku selalu tak bertemu engkau
duh, di mana kamu?
2/
pernah aku angankan kelahiran baru
di mana kata-kata ngerubung mirip semut
meniti jalannya sendiri-sendiri
memungut kesendirianku
tapi bagaimana aku dapat melahirkannya? ingatanku tak lagi lekat
pada garba bunda
walau pintu terus saja terbuka, menyeret masa lalu sampai lampus
sebentar, aku kenang dulu para tetua
moksa dan luka. ah, betapa aku ingin melacak peta tubuhku yang sempat
luruh. di batang silsilah
meski, seperti kau bilang, selalu ada yang berdetak, setiap kali
lembar hari berganti
begitulah, aku ingin menangis lagi
seperti bayi. menjenguk nyala matahari pagi yang lesap ke dalam pori
3/
cuma genang diriku. masuki lorong-lorong solitude
terlelap dalam permainan kartu yang lungkrah di atas meja, terbuka
meski bagiku, tanggal lahir nampak semilir
tak mampu dijaga, tanda diri yang telah lahir
katakanlah, sebagai pahat jejak yang lama berkerak
dari biografi tubuh di ruas kalimat, bicara syair yang ngembara ke negeri saga
maka segera kulupakan rimbaud, dengan negeri syairnya
yang menelikungku dalam belantara angin, selalu ngalir dalam beku kata-kata
pun paz, yang tak selalu pas melacak suara lain
begitu asing dan dingin
4/
apakah aku selalu bertemu denganmu? di mana? di sebuah pasar yang sesumbar
di tengah derau puisi yang makin parau. biarpun, nyeri masih tinggal gentar
lelaki yang kerap mengasah belati kata sampai badannya berdarah
tetapi kata-kata selalu basah, lemah, dan lelah
5/
barangkali aku cuma tinggal sejarah
sebab selalu ada orang gila yang muncul dari sajak-sajak, minta dituntun
ke pintu cahaya. tetapi selalu ada matahari yang lain, nampak begitu pasi
dan nyendiri
o, dusta yang laknat, mengapa tetap kukerat?
berapa banyak rindu yang tenggelam hilang di tengah pelabuhan sunyinya sendiri
tertinggal perahu untuk melarung laut?
sayang, perempuanku juga lenyap, diminum hujan sampai demam
dan aku terperosok ke dalam kangen yang ngilu
membuka jajaran kenangan yang tumpang tindih
dengan berita di halaman surat kabar
hambar. menakar kelakar yang tak lagi berdenyar
6/
namun selalu ada arca baru dari puisi
jadi patung yang mutung. betapa kelahiran ini telah mengambil separuh
usiaku, mengingat wajah ibu
meski aku terus saja menabung luka, menyimpan sobekan surat
cinta yang tak jadi kukirim buatmu
aha, kelahiran ini pun sebenarnya tak lagi punya airmata
sekadar menandakan perih atau gembira
7/
sekalian saja, aku tulis dirimu. penuh dengan kalimat keluh
di gelap kata-kata, mungkin di gang-gang sempit tempat tinggalku
berkisah sederhana yang melulu terlupa
keganjilan kita yang melecut parut usia, supaya cepat lari
mengajar waktu
atau, mungkin kita berani menantang malaikat sekadar turut mencipta puisi?
sayangku, puisi siapa yang benar-benar kau kenal?
anwar, rendra, tardji, taufiq, sapardi, gm, jokpin, atau penyair yang gigil mengudap
peluh di jaket yang lusuh?
8/
pernah kau bilang, dulu sekali, sajak ini tak pernah sampai
cuma kata-kata rapuh yang mengeluh
mengelupas huruf demi huruf
sampah aksara. namun, siapa yang hilang? selain para filosof abad lalu yang
sibuk dengan enigma
bangga dengan kelinglungannya sebagai manusia
seakan membuka metafora dalam tubuhmu
lalu dari kata-kata itu, kau menyaringnya
sampai bening. barangkali akan kau minum sebelum tidur
memasukkan mereka dalam lembaran arsip di lemari buku
juga ruas kepala
9/
oh, kawan, sebenarnya apa yang telah kau lahirkan? kok, tambah hari
rasanya dirimu tambah bingung. mencacah sejarah
kau capek? berbulan-bulan dikerjain puisi
ke mana pacarmu, kawan?
ia menjawab, lariiiiiiii….!!!!! pacarku, pulang kampung halaman,
ketika aku kirimkan SMS yang setengah matang, sambil memandang
sedap-sedap pohon ketapang, dengan kesiur angin telanjang
yang nyunsep di halaman
o, kau tak lagi merindukannya?
ya, merci, aku tak lagi takjub
pada kemilau cinta, katamu, cuma penjara
dan, malam itu, perempuan itu, bekas pacarmu
pergi sendirian ke kampung halaman dengan bis malam
menembus hujan dan kelokan
10/
hari ini kau berulang tahun penyair? jangan lihat wajahmu
di cermin. nanti freud datang lagi, berikan kuliah tentang seks
juga pelajaran biologi di masa puber
berdoa sajalah, penyair. semoga syairmu tambah kemilau
tetap memukau
o, ya? kau berulang tahun, penyair?
jangan tutup pintu dan jendelamu
ada seseorang mau masuk, membawa kue, juga kado
dan sebatang lilin, berangka: 22
11/
hari-hari lunglai. sesekali, kau ingat kawan-kawan lama yang ngendon dalam
kepala. aih, siapa kamu?, apa kamu diriku sendiri?, lalu siapa dong aku?
wah ini mah cuma sandiwara yang tak bicara. capek. monolog
bisu yang mengisap lembab di ulang tahunmu. sama sekali tidak lucu!
12/
seseorang mengirim kado buatmu. tetapi yang tertulis di secarik kertas
adalah namaku. ehm, dari perajin kata-kata. sialan. menamai benda seenaknya
diancuk. dia pikir siapa dirinya? dewa? atau adam yang letih mencari hawa?
duh, ke mana si tua paz pergi?
ayo, bung, sebagai lelaki mestinya kau tak miskin imaji
masih banyak warna pelangi yang tak lengkang ditandai
13/
ibu, rahimmu terbuka lagi. tapi jangan lagi kau kirim aku ke situ
hormat dari anakmu yang menguji nyali
merakit sunyi dalam puisi
meski aku masih ingat hangatnya, juga semua impuls yang menyentakku
dengan lenguhmu, bersama anyir darah
izinkan, aku sekadar mengenang perihnya
terlontar ke bumi, terlahir sebagai lanangmu
14/
ah, kapan kau main ke rumahku. kutunggu berwaktu-waktu
ada banyak buku yang belum terbaca. mungkin, engkau
bisa lama-lama menafsir di sana, juga membaca sebagian riwayat yang terpenggal
kok, pengarang jadi tukang jagal? tak mampu bikin autobiografi
diri sendiri. atau, semua itu dari dirimu sendiri?
15/
mungkin, kau akan bertanya begini,
“mengapa dunia selalu berhubungan dengan angka-angka”
-- supaya tak lekas lupa--
selalu ada matematika, di arloji, kalender, juga usia? o ya berapa usiamu sekarang?
angka-angka itu, selalu kau benci sejak duduk di bangku sekolah
berseregam putih-biru. kau selalu merasa takut, jika guru menunjukmu
untuk ke depan kelas, mengerjakan soal-soal
betapa ruwetnya dunia, pikirmu
16/
kemungkinan lainnya, tebakmu, di kota lahir juga puisi-puisi segitiga
narasi manusia bingung yang mengukir transkrip mimpinya
17/
maka kau membayangkan lingkaran baru. yang selalu menjebakmu
dengan ilusi-ilusi, bayang kupu-kupu, di mana kau tetap kembali ke tempat
semula
18/
hari ini jumat terasa berat
kau ingin menggapai-gapai liur januari, di mana dingin hujan
selalu tertahan di bola matamu. dan senja ini kau memutuskan untuk
tidak pulang ke rumah, berjalan-jalan di rerindang pohon ketapang
sampai masa kecil muncul lagi. tiba-tiba tubuhmu meriang
kau ingat wajah ibu, muncul di sela-sela napasmu
merapikan doa-doa, yang lama hambur
19/
sia-sia kau kerat dirimu. nyatanya napasmu kian sesak
tak mau bergerak. dan, kau merasa mimpimu jadi bencana
petaka yang selalu membekas, kenanganmu lemas
seperti jerat umur yang suatu saat akan terkubur
semua kenangan emas yang makin keras
20/
ehm, aku ingin mendengarkan blues. musik dari tanah-tanah orang
berkulit hitam. mengusir gelisah yang lama. supaya luka tak lagi bundar
supaya aku tak melulu terkapar
21/
lalu kuingat ciumanmu. meski terasa hambar sekarang
benarkah kau benar-benar kukenal, katakanlah, sekian waktu
mengisi kolam hidupku. dan, dari kejauhan, aku mendapati matahari yang lain
membuka hari yang dingin
pergi tolstoy, jangan masuk dalam kepalaku
aku tak mau mati kesepian sepertimu
22/
sudahlah, tiup lilin itu. semoga panjang umur, penyair!
(Termuat di Antologi Akulah Musi, Pertemuan Sastrawan Nusantara Palembang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar