Mengenai Saya

Foto saya
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll. Bekerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Minggu, 01 Februari 2015

Sajak-sajak

Sajak-sajak Alex R. Nainggolan

 0 87
Jenazah Ayah
            - halasan nainggolan
 semestinya aku terus mengangkat kerandamu, ayah. sepanjang waktu. tapi maut selalu menunggu dan tak pernah bisa ditipu. hari rabu 10 juli 2013, di tubir bulan puasa. melewati simpangan kenangan. membasuh lukamu yang acapkali tumbuh. dengan ayat-ayat pesakitan yang lama kautampung. betapa selalu kubangunkan kesadaranmu, setiap kali napasmu sesak atau rasa nyeri yang lama berkawah di badan.
tapi tak kulihat airmatamu. hanya sesak nyali yang membekas di antara jeritan hari terus meranggas. sebab tuhan selalu berkaca, memandangmu di cermin. tanpa mesti ada tanda masjid atau gereja. di sana, doa-doa serupa lagu– yang kerap menidurkanku di terowongan insommnia. acap aku ingin terjaga, seperti detak nadimu.
“aku tidak pernah sakit. nyeri ini belum seberapa,” ucapmu menolak amputasi. pun saat angka tensi darah atau kadar glukosa yang terus meninggi. bertahun kaulalui demammu, hingga hangat itu tak lagi rambat di tubuhmu.
dan ajal merupakan hal yang janggal. ada banyak tanda hari yang tak mesti dilepas, semacam subuh yang beku. seperti saat kaulintasi malam-malammu yang terus memberat.
magrib sudah terbuka. lelahmu tiba juga, mata yang mencatat ingatan masa kanakku. dan tangis pecah. langkah tergesa, bayangan ruang icu yang selalu kautakutkan.
“tapi aku tak pernah sakit, anakku.” hanya ada bayangan kupu-kupu beku, tak bisa terbang di kepalamu.
*
selang infus merambat lagi. obat yang tersumbat di nadi. rintangan ingatan yang sekejap membatu. gerimis di luar kamar perawatan, cahaya matahari begitu rendah. terasa tubuhmu terbelah. dan dokter cuma bekas tangan yang tak tergapai.
jenazahmu ayah, dipenuhi suara ramai orang mengaji. menyimpan tawarmu, telah kauberikan kegelapanmu dan menjauhi hutan yang dipenuhi para pecundang. berharap sua pada cahaya rindang yang merentang.
setelah ini, aku akan selalu mengusung kerandamu. mencari pemakaman bagi tubuh bekumu. tanpa mesti ada batas yang memberi tanda bagi nisanmu. sebab nisan cuma sebatas nama yang tak pernah selesai dieja. bukan soal muslim atau nasrani. bagi tubuh yang bertahun aku akrabi, di lipatan sunyi. dan tumbuh sebagai bunga yang lain.
Edelweis, 2013

Nadi Pagi
 di nadi pagi
engkau tak kunjung sembunyi
lipatan ingatan di tulang daun
bayangan hari yang menetas
menyimpanmu dengan cemas

cuaca mengeras di muka pintu
mengoyak ingatan membeku

ada yang lupa tentang kematian
bergegas meniup jadwal
lalu memenggal langkahmu
seketika
2013

 Juli yang Rumit
akhirnya aku sampai pada juli yang rumit
bencana hinggap bertubi
menanam sakit
membuka musim-musim yang tak pernah selesai dieja

dan ayah wafat, kenangan bagaikan tanah liat
yang menelusup ke tubuhnya
saat dibaringkan

seperti tak selesai kurawat
juga sebuah pernikahan
yang sewindu mendekap
di tubuhmu
sebelum tawa anak mendekap
di kedalaman tubuh perempuanku
Edelweis, 2013
  
Di Sebuah Pagi
mungkin tak ada yang mampu kudekap
pada sebuah pagi
selain memberikan dirimu petaka
yang rubuh di bahuku
menembus jantung
juga pesakitanku yang memanjang

di aliran cahaya matahari
rekaman mimpi tak terbaca
sebagai detak yang kaukurung
berpuluh tahun

di sebuah pagi
ruangan rumah yang terbuka
menghimpit kecemasan
dari sejumlah harapan yang tak tergapai
sebab kita tak pernah bisa menerka
atau membaca jalan usia
Edelweis, 2013

Percakapan tentang Ayah
mereka terus saja bercakap tentang ayah. mengulitinya dari sakit yang  lindap di tubuhnya. menawarkan berbagai mantra atau obat. sementara ayah terus saja sesak. berjalan dengan langkah tertatih, menangkap samar suara yang lain. tapi tak ada yang mampu menenangkan setiap demam yang tumbuh di pembuluh tubuh. ayah terus saja menempuhnya sendirian. seperti ingin bebas, tak mau diusik. begitu tenang tanpa mesti ada cakap atau kata-kata bahagia. dan aku mendapatinya gembira di sana.
Edelweis, 2013

Semacam Tangisan Hujan
mungkin engkau adalah tangisan hujan. yang bergerak dari berita dan berita. merapat di cecabang kata. semacam tangis hujan. yang tak pernah bisa kutulis dengan segenap kesabaran. lalu engkau melompat jauh. memberikan kabar-kabar cemas yang lain. hinggap di sudut negeri yang tak pernah bisa tertata. menampung keluh orang-orang. dan hanya engkau yang tahu, mengapa tangis ini terus saja tak rampung.  di antara jerit pesakitan, dan sejumlah rapalan gagap.
sehabis ini, akan kaubuka pintu. semilir angin yang jatuh di telpakmu. dan runcing dingin kenangan akan hujan yang tiba di muka pintu.
Edelweis, 2013

Sewindu Pernikahan
belum sempat aku berbuat buatmu dan anak-anak
sementara citamu begitu tegar dan besar
sering kau pupuk aku untuk terus tumbuh
menjelma jadi pohon trembesi
agar teduh bagimu

memelukmu
sepanjang buram ingatan

namun sepanjang malam tubuhku terasa demam
tak bisa membuatmu sehat dan tertawa
aku terbungkus dari leluhur yang membusuk
dan kau lelapkan aku di ranjang besar
menyimpan hangatku yang lain

padahal katamu, hidup ini sederhana
dan kita kerap abai di sana

Edelweis, 2013

Tentang Alex R. Nainggolan
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Jurnal Sajak, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Berita Harian Minggu (Singapura), Sabili, Annida, Matabaca, Majalah Basis, Minggu Pagi, Koran Merapi, Indo Pos, News Sabah Times (Malaysia), Surabaya News, Radar Surabaya, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.comwww.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll.
Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.

Jumat, 30 Januari 2015

Sajak-sajak

Harian Umum Lampung Post

Sunday, July 27, 2014

Sajak-sajak Alex R. Nainggolan

Telapak Waktu

Kau adalah telapak waktu. Yang menjejak di tubuhku, sepanjang hari yang penuh duri. Kerumun mimpi yang tak usai kupunguti satu per satu. Namun kau terus melangkah, berharap tak kesasar bersama sejarah yang hambar. Di jalan yang gelap tanpa kertas peta, kau tarik lenganku dan memancung segala purnama yang hinggap di langit. Tapi orang-orang lebih senang merayakan luka dari pori-pori kulit mereka. Memasuki serapah yang dipenuhi ludah, atau segala tabiat jahat sebelum malam berangkat. Dan engkau masih terus menyobek hari yang tertanda dalam almanak. Seperti segala dosa dan sedih telah tamat. Di rimbun kota, aku dihinggapi cemas yang runcing di ujung rambut. Suara anjing yang terus melolong, dan kota yang telah menjelma jadi raksasa hitam. Namun tahun memang menua, jejaknya masih kau catat, di sebuah buku yang telah terjatuh di lorong gelap. Suara teriakan itu bergumul, memanggul semua jasad yang kehilangan kenangan.
Engkau adalah telapak waktu. Jejak tanpa muslihat, mendekapku dalam muram.

Edelweis, 2014


Gumam Puisi

Sejauh mana engkau pergi
Kota telah buta oleh cahaya
Kata menjadi rekah fajri
Yang melulu dihimpun sunyi
*
Mungkin tangis
Yang tak sempat direkam
Oleh gumpalan luka
Menggumul dari sisa cahaya
*
Aku dan kamu membaca
Sepanjang aksara
Yang tak juga
Jadi tua
*
Sepanjang puisi
Bara kata yang hampir mati
Kenangan terasa sunyi
Memanggil suara lain
Yang mungkin abadi
*
Langkah kaki
Terseret pergi
Wangi sunyi
Terbakar lagi

2014



Hujan Juli yang Dingin

Sepanjang hari, Juli tertempa hujan. Dingin abadi di jalanan, sementara orang-orang melangkah dalam puasa yang teduh, atau menanti siapa yang kelak jadi presiden. Hujan merantau di seluruh ruangan, merebut segala bayangan angin. Kaca-kaca berembun, kenangan membasah, airmata terus berjatuhan. Tubuh-tubuh berdesakan, mencari payung atau sekadar mantel hangat. Aku merapat ke masalalu, yang selalu saja buntu. Melangkah di antara genangan luka yang lama membatu. Juli terus membasah, di tiang-tiang listrik. Cemeti sunyi merebak, menapak tanpa jejak diusap air. Mengalir dari setiap pangkal kesedihan. Hujan belum juga berhenti. Dan kerumun orang masih menepi, bercanda dengan degup waktu yang makin nampak di dada.

Juli 2014



Kita
      - asrina        
     
Ingin kucabuti segala sedihmu. Sembilan tahun dan kita berangkat menjadi tua. Tapi selalu ciumanmu kutunggu, di batas pagi atau malam. Agar segala sesak di dadaku terdiam. Bukankah selalu ada pintu rumah yang terbuka; dengan tawa kanak-kanak setiap kali kita tiba? Maka akan kuredakan sesal yang kausimpan dari jalanan. Pernikahan ini akan melingkar di seluruh tubuh, sebab engkau bukan lagi dara yang kerap menunggu mekar mawar.
Ini musim hujan, yang selalu kauarsir dengan cemas. Bersama dinginnya yang muram, menghitung kelam demi kelam. Tetapi, aku akan selalu tiba untukmu. Bertahun-tahun meski berkerumun dendam dan demam. Merindukan selalu, pelukanmu yang rapat itu.

Juli 2014


Bermain dengan Hujan

Bukankah itu adalah hujan yang kautemui waktu kanak dulu? Dengan tubuh kecilmu berlari sepanjang jalan, hingga tubuhmu kuyup, kulitmu mengerut. Tanpa cemas. Dan itulah kenangan yang panjang, meski engkau meriang, menahan gemetar tubuh yang dibalut dingin. Gigimu gemeretuk, mengetuk mimpi yang binar. Nampak pijar matamu selalu berdenyar, sepanjang hari.
Kini engkau jalani lagi ingatan itu, namun tubh yang dewasa tak sanggup menampung segala riang hujan. Tubuhmu ngilu dan dihajar influenza berat. Kau coba mengingat; ternyata kilap hujan lebih kuat. Tak bisa kautampung hingga rampung di tempurung kepalamu. Hanya ingatan pada selimut hangat atau jalanan yang terus membasah dalam kecambah hujan.

Kebon Jeruk, 2014


-----------
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di berbagai media dan antologi bersama. Bukunya: Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, 2012), dan Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, 2012).


Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2014

Sajak-sajak di Riau Pos

http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=994&kat=3


Lumbung
1/
sepanjang tahun ia menabung kata
di lumbung kenangan
tapi kata tak gandrung
cuma murung mengisapnya
tak kunjung jadi kuning tua
menanam benih yang tak tumbuh

dan kota ini jadi kering dan asing
bayangan puisi mengabur di kaca jendela
mungkin ia perlu bertahan dalam pelukan
seorang perempuan
ketika hujan tandang

2/
di malam ini,
ada isak kata menangis tersedu
tak bisa ia tenangkan
bahkan ketika sebuah sajak
selesai ditulisnya

2012


Bandar Jakarta
semestinya engkau tak usah menghubungiku
kenali saja kota ini sendiri
kau akan paham jika penat telah lama pucat
di antara kendaraan yang antri
dan debar klakson

waktu yang aus
tanpa per
yang mengajakmu kembali ke silam
gang sempit, suara jerit

sebab hanya ada hutan buatan di sini
pohon-pohon masuk ke dalam pot besar
dan trotoar bukan milik pejalan kaki

dan kau akan senantiasa kangen di sana
ingin singgah serupa kundang
di bandar besar
dengan otak jahat yang berlingkar

hanya tandus jalanan
beratus hari hilang hujan

2012


Kue Ulang Tahun
- asrina

ayolah, potong kue itu
hanya ada desir waktu cemas menguntit dirimu
membayangkan engkau tumbuh
dan dipenuhi kerut wajah
hanya nyala lilin
uban yang memanjang
dan engkau yang telah menjadi ibu

ayolah, buka kado itu
setelah ini kita ke pantai
mengakrabi biru laut
dan menyimpan kenangan yang lama sungut

hanya senyumanmu
mengganti bilangan hari
yang selalu kautandai setiap pagi

2012


Istri
1.
ia memasukkanku ke dalam kamar
ranjang yang hangat
dan secangkir kopi di meja depan

“selalu aku ingin menggambar hujan bersamamu!”
lengannya lebih rekat menyumbat ingatanku

2.
ia berdandan di depan cermin
“adakah aku menjadi tua?”
ia seperti ingin menggugat waktu
tapi pelukannya telah merawatku
setiap kali tubuhku gemetar

“kutinggalkan bekas gincu di telapak tanganmu. supaya engkau ingat selalu.”
ucapnya menjauh, sebelum aku tergesa kerja

3.
ia membenahi segalanya
aku yang tak pernah ingat letak pakaian
dan menyimpan usiaku yang kerap tak usai dikayuh

Poris Plawad, 2012


Menyusun Puzzle
mestinya aku mengenangmu lewat hujan
tapi hanya cuaca sengat yang larat mendekat
dan aku terjerat padamu
segalanya membekas
semacam saat menyusun puzzle kenangan yang retak
membetulkan letak ingatan
tentang ranum bibirmu

meskipun sepanjang kota
kerumun orang mengumpat
hanya ada bekas tahun yang menguning
seperti terkunci

ah, betapa sulitnya kurekatkan dirimu
bertahun-tahun tak kunjung rapat

2012


Alex R. Nainggolan
Lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Universitas Lampung. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku dimuat di berbagai media seperti Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Jawa Pos, Berita Harian Minggu (Singapura), Sabili, dll. Termuat dalam antologi bersama, seperti Elegi Gerimis Pagi (KSI, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (KOMPAS, 2003), Muli (DKL, 2003), Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (CWI, Depdiknas, 2004), La Runduma (CWI & Menpora RI, 2005), Akulah Musi (PPN V, Palembang 2011), dll. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012). Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah. Kini ia bekerja di pemerintah Provinsi DKI Jakarta.