Mengenai Saya

Foto saya
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll. Bekerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Sabtu, 24 Maret 2012

CENAYANG DARI TANJUNGKARANG





CENAYANG DARI TANJUNGKARANG


syahdan, akan datang ketika hari benderang
seorang cenayang
dari sebuah kota yang kerap gagal ditebak
dimana semuanya terjebak
tanjungkarang yang penuh lubang

kedatangannya merupa khidir
seperti menyimpan segala takdir
yang mungkin ganas
lalu menghapus segala luka tanpa bekas
di setiap ruas

dirinya yang selalu dinanti
seperti ingin menghapus semua tepi sepi
hingga lantak diisapnya
dari jantung orang-orang

dan ia pun mulai menujum
bersama tubuh yang terkulum
napasnya sesak
bola matanya isak
seperti ada kenangan yang bubar di sana
padahal hujan belum datang
"siapa yang gandrung tertenung
hingga hampir punah kaghanga?" 1)
tanyanya menggelegar

ia merapal mantra tanpa dupa. tanpa ritual
minus upacara sakral
sembari menatap batas kota yang jauh
sebuah kota yang sebenarnya teduh di pikiran
dengan kelok jalan yang nyaris tanpa liku

tak ada lagi nuwo menyanak atau nuwo balak 2)
di sisi jalan
hanya gadis-gadis tanjungkarang berkulit putih
dengan legam rambut licin
merebut perhatian dari ampas peradaban terpilin
begitu miskin gadis yang hapal gerakan cangget3)
cuma berganti dengan kerling mata yang nakal

ups! apakah ada para muli yang kaget
ketika pijar tanjungkarang menggoda
dengan latar halaman mall di jalan kartini?

"jangan kaulupakan
walaupun hujan tak datang
tetaplah ke tanjungkarang
berdiamlah di sana barang sebentar"

terkadang keripik pisang
juga hadir diam-diam
atau serupa juga getah kopimu
kembali jadi ampas candu
di pangkal lidahnya
mungkin pula angin lautmu

merajuk sampai ke daratan 

cenayang itu menampar gaduh
semuanya terpiuh
direkam jauh
bahkan sebelum subuh
hinggap menetap
di kota itu
dan angin pantai terjatuh

lalu dengarkanlah cenayang itu mengurai sebuah kisah
(yang barangkali tentang dirinya sendiri):

seandainya kau tak berkunjung ke kota itu
dan tidak tinggal untuk beberapa lama
mungkin ia tak akan meriang di kepalamu
menghampirimu dengan getah kenangan
juga dalam mimpi-mimpimu

tapi demikianlah kau telah terjerat di sana
untuk beberapa tahun
mengerami tanjungkarang
juga setiap kelokannya
dan kau terbiasa dengan para muli
yang tertawa menggoda

kaupun menghabiskan malam-malam yang dingin
menghitung segenap sudut tubuh yang kaku
mengisap candu rutinitas
menghidupkan pijar lampu
sepanjang jalan teuku umar
atau mengintip keramaian saburai
dengan perempatan gajah yang berkumpul
untuk bermain bola

kedatangannya membakar amarah dan sepi di tubuhmu
hingga semua sudut kota bergetar
namun kau selalu gagal memahami
nasib orang demi orang
juga keliaran angkot yang penuh dentum
musik dan keliaran pikir yang nakal
sopir dengan mulut harum anggur

kota itu;
segalanya seperti memberi sunyi sepenuhnya
dan kau acap menggarami airmata sendiri
kubiarkan saja orang-orang merawat bunga
di beranda
sementara tanjungkarang
dilumuri hujan

di sini, mimpi jadi samudera
yang ganas menampar
karang angan

lalu diambilnya sebuah benjana
sembari duduk bersila
di permukaan air bening
nampak getah cahaya kota yang hening
tanjungkarang yang dilipat malam
berbaur dengan para pendatang

namun ia tak bergeming
mungkin ada sebangsa mantra yang lindap di kepala
menujum--
sebagaimana khidir yang membungkus ingin dan takdir
seperti ia mencari pintu baru
ingin melesir dari zaman yang angkuh

"apa yang dikayuh melulu
tak terengkuh. rapuh dan lumpuh,"

dengan apa ia menempuh semua jalan
jika sebuah kota gagal diakrabi
teralienasi bayangan sendiri
acap ia merasa sendiri lagi di sini
memaknai lindu dada
yang tak kunjung sembuh
hingga ia melepuh
menyeruput ampas sedih yang kecut

yang ditemui
hanyalah orang yang bertanya-tanya;
"mengapa kota ini cepat sekali berubah?"

di tepi kota
hanya pijar-pijar cahaya
seperti melengkapkan cuaca

berkabar mimpi yang tak kunjung terbuka 

"hinggaplah barang sebentar
lupakan sesakmu
atau isakmu
reguklah kota ini dalam-dalam"

maka simak sajalah juga
ketika orang-orang di gigir jalan
membuat tanjungkarang dengan cahaya
penuh dengan lelampuan
ketika remah malam
memeluk diam-diam

tapi di kota ini
terlalu banyak kenalan
terlupakan
bahkan ketika hujan datang
menerjang dengan meriang

o, ya apakah dengan demikian,
engkau akan mampir ke rumah makan
untuk sekadar menikmati seruit? 4)
dan, ah ya!
sekalian juga jangan lupa
pada sebat 5) sebagai pasangannya
maka di saat itu kau akan tahu
bagaimana kekalnya rasa di lidah
bergairah dan terjerat
dan engkau tercubit
pada aroma yang membelit

buah tanjungkarang

dengan oleh-oleh di badan 
*
benarkah ia seorang khidir yang mampir di sebuah kota?
ketika ampas kopi di tanjungkarang masih meruap
menjadi getah dari panasnya tanah lada yang gelap

syahdan, hingga kini
aku tak paham akan kebenaran cenayang itu
betulkah ia;
seseorang yang mengenang tanjungkarang
atau sedang mabuk kenangan dengan berjudi
sekadar meramal masa depan;

atau benarkah ia seorang khidir? 


2009 


Catatan:
1) huruf/aksara Lampung
2) jenis-jenis rumah di Lampung
3) tarian khas orang Lampung Pepadun
4) makanan khas Lampung
5) minuman khas Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar