GETAR sajak-sajak Chairil Anwar, pe nyair besar, ma sih terasa sampai
sekarang, 63 tahun setelah kepergiannya. Penyair yang meninggal pada 28
April 1949 itu mewariskan bait kata-kata yang `mengabadi', acap
menggaung--jauh dalam rentang jarak umur yang dimilikinya, 27 tahun.
Kata-kata dalam sajaknya seperti terus bersemayam di dalam benak.
Ia, sebagai pelopor angkatan 45, yang ditahbiskan HB Jassin, seperti tak
pernah lekang dalam ingatan. Untuk hal yang satu ini, Milan Kundera
agaknya bisa jadi salah, sebab Anwar terus diingat dan tak mudah
dilupakan. Nyatanya, manusia (baca: khalayak sastra Indonesia) telah
mampu untuk melawan lupa. Anwar, dengan sajak-sajaknya, masih tetap
lekat dalam ingatan.
Sajak-sajaknya memang mandiri, sejumlah kata-kata asli yang juga
memberdayakan kemurnian sebuah puisi.
Mulanya lewat sajak Aku Anwar memang bergerak dalam ranah pribadi, hanya
dalam getir perasaan. Pun dalam sajak Nisan ia lebih bertumpu pada
hubungan manusia dengan manusia, entah dalam persoalan asmara ataupun
lainnya.
Sejumlah sajak cintanya tidak picisan. Sajak itu tegar, tapi tetap
digelayuti banyak getar sehingga saat membaca nya ada semacam debar yang
tak bisa dirumuskan. Padanan diksi yang apik membuat sajak-sajaknya tak
lagi memiliki celah. Ia membelah (memangkas habis) semua kepanjangan
kalimat, membuat kata-kata begitu rapat, sekaligus akrab.
Anwar pun seperti menguliti selapis demi selapis sakit yang dimilikinya.
Ia menyentuh kedalaman kata itu sendiri.
Simak Sajak Putih. Bagi saya, itu sajak yang begitu tabah, yang mampu
`menyihir' di beranda pembukanya: bersandar pada tari warna pelangi/ kau
depanku bertudung sutra senja/di hitam matamu kembang mawar dan
melati/harum rambutmu mengalun bergelut senda//.
Terasa ada `gaung' yang tumbuh dalam sajaknya. Kata-kata yang memadat,
seperti bergema, memantul-mantul, dan membangunkan kesadaran diri dari
dalam. Untuk itu, saya setuju dengan Acep Zam-Zam Noor, penyair asal
Tasikmalaya, jika ukuran puisi yang baik ialah bulu kuduk. Jika dapat
membuat bulu kuduk bergetar, puisi itu memang baik. Puisi tersebut bisa
membuat segala indra tubuh tetap bergolak.
Itu sebagaimana yang dicatat Sutardji Calzoum Bachri.
Dalam menyair, Anwar selalu bersungguh-sungguh (Isyarat¸ Indonesiatera,
hal 387). Kerja kepenyairannya begitu serius.
Untuk mencari satu kata dalam sajaknya, ia membutuhkan waktu yang lama,
dengan demikian terasa totalitasnya. Begitu besar energi yang
ditempuhnya untuk merampungkan sebuah sajak. Dengan demikian, sajak-sa
jaknya dipenuhi energi, tidak lapuk oleh usia, dan acap membahana.
Menurut Sutardji d a l a m Wawan cara Imajiner dengan Chairil Anwar,
bagi se orang penyair menulis sajak itu pekerjaan paling serius, paling
sulit, dan paling berkeringat. Apabila ada yang bilang menulis sajak itu
gampang, ya, memang gampang kalau menulis sajak itu tujuannya untuk
lucu-lucu, untuk beraneh-aneh, sekadar perintang waktu.
O l e h sebab itu, kedudukan penyair yang bersikap menggampangkan puisi
juga tersepelekan dalam kancah perpuisian.
Sikap penyair Chairil Anwar ialah seorang penyair yang mempunyai sikap.
Ia seorang pribadi yang teguh, yang cende rung mengikuti kata hatinya.
Kebenaran yang dirasakan, baginya, memang terkadang tidak be gitu
mengasyikkan bagi kehidupannya sendiri. Hal itu da pat dilihat dalam
sejumlah sejarah hidupnya yang bohemian, cenderung urakan-yang juga
membuat nya, sebagaimana yang ditulis Sapardi Djoko Damono, sebagai
lambang seniman di Indonesia.
Sikapnya dengan keseriusan terhadap puisi pula yang membuatnya bisa
melampaui apa-apa yang digagas sebelumnya. Itu mele wati seluruh
pemikiran zamannya. Ia menulis sajak bagaikan sebuah ladang perburuan
kata. Ia penyair yang menuliskan sajaknya dengan keringat dan air mata.
Ia pun fokus pada setiap penciptaannya. Demikianlah, membaca Anwar ialah
membaca sajak-sajak yang tertib kata-kata.
Sebagaimana yang pernah ditulis Hasif Amini, `Puisi, tenaga rahasia kata
yang bangkit dari susunan gambar-bunyi dan latar sunyi, yang merangkum
makna atau melampauinya, adalah tilas dan proses yang memang punya
sukacita dan kepedihan tersendiri. Ia tak bisa diharapkan datang dari
hiruk-pikuk atau kalang kabut yang umum. Atau dari amarah yang
menggembung jadi monster, yang cuma mengenal gerah dan gatalnya sendiri.
Puisi: setrum yang memercik dari pergesekan huruf hidup dan mati, puting
beliung yang menggila dari bukit dan lembah sepi, kelopak-kelopak majas
yang mekar dari dada dan kepala yang merindu yang mencari'.
Terbukti, apa yang dikerjakannya begitu dahsyat. Menurut hemat saya, ia
telah melompat jauh jika dibandingkan dengan para pendahulunya.
Itu sebuah gebrakan yang membuatnya tersohor.
Hal tersebut tak lepas pula dari sejumlah sajaknya, mengingatkan saya
akan kalimat K Usman dalam buku yang diberikan kepada saya, `Seorang
pelopor apabila berhasil ia akan tersohor. Tapi seorang pengekor tak
akan pernah jadi nomor satu'.
Memang tak cuma ihwal cinta/asmara yang dipetiknya dalam puisi.
Sajak-sajaknya berkisah banyak. Dari pelbagai sudut kehidupan. Anwar
juga mencari Tuhan, persoalan bangsa, ataupun masalah sosial masyarakat
yang terekam di masa ia hidup. Ia bisa saja berkisah tentang
religiositas: doa, surga, masjid, Isa, dsb.
Atau, aksi heroik dalam sajak sadurannya Karawang-Bekasi atau Diponegoro
dan Persetujuan dengan Bung Karno.
Anwar, bersama kesung guhan yang dimiliknya, telah meninggalkan jejak
semangat dalam sajak-sajaknya. Semangat yang mengakar tak pernah pudar
dalam menuliskan sajak-sajaknya. Pencariannya `penuh seluruh', meminjam
ungkapannya dalam sajak Doa.
Ia bilang ke Jassin dalam surat bertiti mangsa 10 April 1944: `Yang
kuserahkan padamu-yang kunamakan sajak-sajak!-itu hanya percobaan
kiasankiasan baru.
Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa tingkat percobaan musti dilalui
dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya' (Chairil Anwar Aku Ini
Binatang Jalang, GPU, hal 98). Lewat dirinya, peta puisi Indonesia
berubah. Melalui dirinya, pembendaharaan kata yang dimiliki bangsa ini
melompat dengan jauh. Barangkali sajak-sajaknya akan tetap abadi. Gema
seribu tahun lagi yang dituliskannya akan terbukti.
Masa 28 April adalah tanggal kematiannya. Kematian yang muda. Meski, Soe
Hok Gie--yang juga mati muda-dalam catatannya menulis, `Berbahagialah
orang-orang yang mati muda'. Di tengah gaung globalisasi saat katakata
menyeruak di antara iklan media massa, slogan atau janji, SMS/BBM, pun
pada hamparan kata-kata di sejumlah jejaring sosial, apakah sajak-sajak
Anwar masih layak diingat, dicatat, dan mendapat tempat?
Namun, ketika membaca sajak-sajaknya, kembali terasa diksi-diksi
rapatnya terus bersinar penuh pijar. Sajaksajaknya telah berhasil
mengatasi kesementaraan waktu sehingga bergema lantang: Ingin hidup
seribu tahun lagi! Ah, Anwar, kata-kata dalam sajakmu masih terus
bergetar, penyair!
Mengenai Saya
- Alex R. Nainggolan
- Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll. Bekerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar