Sajak-Sajak Alex R. Nainggolan
http://www.lampungpost.com/
Buat Anwar
aku ingin berdoa sepertimu
mengetuk di pintu-Nya
mungkin akan terbuka
menampung segala keluh
yang berkerumun di tubuh
tapi dari sudut mata tirusmu
sajak-sajak mengelupas
mengabarkan dunia yang luas
seperti telur menetas
anwar, jika suatu waktu aku sua
apa yang mesti kutanyakan?
ehm, mungkin tanpa bertanya saja
paling enaknya kita surfing
diksi saja di internet
atau mengapungkan tenung waktu
di kafe, dengan beberapa lagu
sekaligus cemilan juga capuccino
“aku ingin berdoa,” ucapmu lirih
“buat siapa? di kafe ini?” kejarku
“puisi yang telah lama pergi dan mati,”
hampir suaramu tak terdengar
Jakarta, 2010
Menempuh Nuh
sementara kapal nuh sudah lapuk
tenggelam di laut
namun engkau masih saja menunggu
dengan wajah kerut
atau rindu yang semaput
segala yang penuh kabut
dan banjir bandang
gelisah bertandang
mungkin engkau bimbang
dengan apa mesti menempuh nuh
sebab ia terasa perkasa
memahami bencana
engkau terus saja menempuh
ke ujung laut
yang jauh
Jakarta, 2010
Suatu Waktu
suatu waktu, entah di mana
engkau akan mencatat sekelumit kalimat rumit
dan kau bilang itu sebuah puisi
sementara orang-orang pergi jauh
menempuh semua peluh di tubuh
suatu waktu, di sebuah tempat
engkau tergoda juga untuk mencumbu angin
sementara harapan semakin dingin
dan kepergian cuma cerita larat yang diulang-ulang
akhirnya, kaucuma memenggal dirimu sendiri
serupa jenar
menggoda waktu
agar nampak memar
dan kaubertemu dengan baris kecemasan baru
bertahun abai berdamai dengan waktu
2010
Buku Penyair
yang ia catat cuma sayat perih
bahagia tertahan
hujan tergenang
kenangan terasa remang
tak mampu dipilahnya malam atau sedikit sepi
di sana kata-kata meranggas lalu siap dikubur ke tanah
mengais rindunya yang lembab dengan sedikit darah
yang didapati cuma muka orang-orang
menanam meriang padanya sepanjang hari
dicabutnya baris kalimat resah
menunggu di sepanjang gang sempit berbau apak
sebuah pinggiran kota yang tak tersentuh senja
lalu dikailnya angin
sampai tubuhnya kering
fragmen kesedihan lelap lagi
mungkin hadir pada mimpinya
sepanjang malam yang resah
dirinya yang kalah
lalu dikuncinya semua cuaca
diam-diam belajar membaca
di ruangan yang sesak dengan buku
tak pernah ada yang selesai dengannya
meski pagi tumbuh
acap tak ada yang usai
2010
Sebaris Mimpi
terasa mimpi itu mengunci
di teras tubuhmu semalaman
tak bisa kausingkirkan
bahkan ketika hujan tiba
pagi itu
semuanya mungkin kecemasanmu
yang mengeras
bertahun-tahun
akrab mengunyah bencana
saat kaukisahkan mimpimu
orang-orang menggeleng bersama
“mimpi itu untukmu! bukan milik kami!”
serempak menghardik
Jakarta, 2010
———–
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982, menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisannya berupa cerpen, puisi, dan esai dimuat di berbagai media dan antologi bersama.
Buat Anwar
aku ingin berdoa sepertimu
mengetuk di pintu-Nya
mungkin akan terbuka
menampung segala keluh
yang berkerumun di tubuh
tapi dari sudut mata tirusmu
sajak-sajak mengelupas
mengabarkan dunia yang luas
seperti telur menetas
anwar, jika suatu waktu aku sua
apa yang mesti kutanyakan?
ehm, mungkin tanpa bertanya saja
paling enaknya kita surfing
diksi saja di internet
atau mengapungkan tenung waktu
di kafe, dengan beberapa lagu
sekaligus cemilan juga capuccino
“aku ingin berdoa,” ucapmu lirih
“buat siapa? di kafe ini?” kejarku
“puisi yang telah lama pergi dan mati,”
hampir suaramu tak terdengar
Jakarta, 2010
Menempuh Nuh
sementara kapal nuh sudah lapuk
tenggelam di laut
namun engkau masih saja menunggu
dengan wajah kerut
atau rindu yang semaput
segala yang penuh kabut
dan banjir bandang
gelisah bertandang
mungkin engkau bimbang
dengan apa mesti menempuh nuh
sebab ia terasa perkasa
memahami bencana
engkau terus saja menempuh
ke ujung laut
yang jauh
Jakarta, 2010
Suatu Waktu
suatu waktu, entah di mana
engkau akan mencatat sekelumit kalimat rumit
dan kau bilang itu sebuah puisi
sementara orang-orang pergi jauh
menempuh semua peluh di tubuh
suatu waktu, di sebuah tempat
engkau tergoda juga untuk mencumbu angin
sementara harapan semakin dingin
dan kepergian cuma cerita larat yang diulang-ulang
akhirnya, kaucuma memenggal dirimu sendiri
serupa jenar
menggoda waktu
agar nampak memar
dan kaubertemu dengan baris kecemasan baru
bertahun abai berdamai dengan waktu
2010
Buku Penyair
yang ia catat cuma sayat perih
bahagia tertahan
hujan tergenang
kenangan terasa remang
tak mampu dipilahnya malam atau sedikit sepi
di sana kata-kata meranggas lalu siap dikubur ke tanah
mengais rindunya yang lembab dengan sedikit darah
yang didapati cuma muka orang-orang
menanam meriang padanya sepanjang hari
dicabutnya baris kalimat resah
menunggu di sepanjang gang sempit berbau apak
sebuah pinggiran kota yang tak tersentuh senja
lalu dikailnya angin
sampai tubuhnya kering
fragmen kesedihan lelap lagi
mungkin hadir pada mimpinya
sepanjang malam yang resah
dirinya yang kalah
lalu dikuncinya semua cuaca
diam-diam belajar membaca
di ruangan yang sesak dengan buku
tak pernah ada yang selesai dengannya
meski pagi tumbuh
acap tak ada yang usai
2010
Sebaris Mimpi
terasa mimpi itu mengunci
di teras tubuhmu semalaman
tak bisa kausingkirkan
bahkan ketika hujan tiba
pagi itu
semuanya mungkin kecemasanmu
yang mengeras
bertahun-tahun
akrab mengunyah bencana
saat kaukisahkan mimpimu
orang-orang menggeleng bersama
“mimpi itu untukmu! bukan milik kami!”
serempak menghardik
Jakarta, 2010
———–
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982, menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisannya berupa cerpen, puisi, dan esai dimuat di berbagai media dan antologi bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar