Jam Gadang yang Berdentang
bagaimana bisa kuhapus seluruh wajah kotamu?
bahkan ketika getar gempa menghadang
dan jam gadang terus berdentang
seperti sebuah remang
yang melulu singgah dalam lukisan
lalu kotamu membeku
seperti bongkah batu
lalu kaupun membaca hikayat si malin kundang
ah, lupakan saja sekejap ihwal anak durhana itu
tubuhnya telah liat oleh cuaca
ia yang membatu dan seperti suara setubuh
yang dibangunkan orang-orang pada setiap jerit kalimat
bahkan ketika getar gempa menghadang
dan jam gadang terus berdentang
seperti sebuah remang
yang melulu singgah dalam lukisan
lalu kotamu membeku
seperti bongkah batu
lalu kaupun membaca hikayat si malin kundang
ah, lupakan saja sekejap ihwal anak durhana itu
tubuhnya telah liat oleh cuaca
ia yang membatu dan seperti suara setubuh
yang dibangunkan orang-orang pada setiap jerit kalimat
namun kotamu terus apik
semacam menanam rindu
untuk pulang lagi
jam gadang yang berdentang
adakah ia menyimpan rahasia?
saat gegas langkah menderap singgah
memecah linu pejalan kaki
lalu ia merasa cuma sekadar penanda
“semacam waktu yang gugur, tak pernah sempat untuk dikubur.”
menelusup di kenangan pada buku waktu
ketika disibak halaman demi halaman
bersidekap pada silang kota
dan membelah segala gelisah
seperti dirawatnya luka orang-orang
seperti didengarnya tangis kanak-kanak
seperti dijemputnya binar harapan
dan ia tumbuh senantiasa
persis kecambah pada pepohon
yang liuk menekuk rimbun daun
dan ia berbunyi
seperti gema saung
menempuh subuh jauh
di antara bakan orang manatiang piriang
lalu disusun agenda
jam gadang terpejam
didengarnya detak dari detik
seperti degup tubuh yang dipenuhi sauh
ia berlayar bersama waktu
kerap bergetar dan melingkar
bertahun-tahun jam itu kukuh di sana
setia menjaga kota
juga ingatan remang yang pendar cahaya
sembul gedung
bayangan rumah gadang
harum kopi kawa
dengan batok kelapa kering
“hiruplah aku ketika asap masih mengepul. dan engkau akan membawa remah biji kopi
sampai ke palung mimpi.”
maka petiklah
hanya daun yang penuh getah
mengobati linumu
jauh di remah galau
setiap jarum penunjuk arah
bagai tak mau kalah
atau melompat keluar
sekadar bermimpi untuk pulang
berpalang-palang rajam untuk rumah
maka ditatanya kota itu sendirian
ia bertahan pada setiap gaduh yang tumbuh
barangkali masih sempat dijemputnya
aroma kapau dari sebuah restoran
atau teh telor yang sengat dengan susu
langkah orang-orang yang lelap di antara gagap
hingga tak mampu menjawab lidah usia
seakan menjemput tanda kerut di tubuh
ah, betapa ia tetap bertahan di sini
bahkan ketika kota ini dipenuhi guncang
lindu yang mengeras dari dalam tanah
sementara di wajah pejalan
yang menembus bandar
luka itu kerap tumbuh
tapi bukankah aku telah gadang;
bahkan ketika gempa datang?
semacam menanam rindu
untuk pulang lagi
jam gadang yang berdentang
adakah ia menyimpan rahasia?
saat gegas langkah menderap singgah
memecah linu pejalan kaki
lalu ia merasa cuma sekadar penanda
“semacam waktu yang gugur, tak pernah sempat untuk dikubur.”
menelusup di kenangan pada buku waktu
ketika disibak halaman demi halaman
bersidekap pada silang kota
dan membelah segala gelisah
seperti dirawatnya luka orang-orang
seperti didengarnya tangis kanak-kanak
seperti dijemputnya binar harapan
dan ia tumbuh senantiasa
persis kecambah pada pepohon
yang liuk menekuk rimbun daun
dan ia berbunyi
seperti gema saung
menempuh subuh jauh
di antara bakan orang manatiang piriang
lalu disusun agenda
jam gadang terpejam
didengarnya detak dari detik
seperti degup tubuh yang dipenuhi sauh
ia berlayar bersama waktu
kerap bergetar dan melingkar
bertahun-tahun jam itu kukuh di sana
setia menjaga kota
juga ingatan remang yang pendar cahaya
sembul gedung
bayangan rumah gadang
harum kopi kawa
dengan batok kelapa kering
“hiruplah aku ketika asap masih mengepul. dan engkau akan membawa remah biji kopi
sampai ke palung mimpi.”
maka petiklah
hanya daun yang penuh getah
mengobati linumu
jauh di remah galau
setiap jarum penunjuk arah
bagai tak mau kalah
atau melompat keluar
sekadar bermimpi untuk pulang
berpalang-palang rajam untuk rumah
maka ditatanya kota itu sendirian
ia bertahan pada setiap gaduh yang tumbuh
barangkali masih sempat dijemputnya
aroma kapau dari sebuah restoran
atau teh telor yang sengat dengan susu
langkah orang-orang yang lelap di antara gagap
hingga tak mampu menjawab lidah usia
seakan menjemput tanda kerut di tubuh
ah, betapa ia tetap bertahan di sini
bahkan ketika kota ini dipenuhi guncang
lindu yang mengeras dari dalam tanah
sementara di wajah pejalan
yang menembus bandar
luka itu kerap tumbuh
tapi bukankah aku telah gadang;
bahkan ketika gempa datang?
2011
Pasar Sungai Sariak*
sepanjang kerucut rumah gadang
remah ingatan sepotong lagu
“kampuang nan jauh di mato…”
saat harga adalah rahasia
terjebak di antara ruas jemari
dan tak ada lagi curiga
cuma rangkuman percaya
rahasia di mata
sepanjang pasar
ternak yang beranak
kelak berpindah tangan
tanpa ucap
hanya terasa degap
ketika semuanya usai
tanpa mesti ada yang sangsai
di balik selendang
jemari yang sembunyi
tanpa suara
sunyi
dengan mata berbinar
cuaca yang berdenyar
mengharap kabar
dan tinggal menghitung arah angin
akan ke mana ini berakhir
ibarat muara
cuma suara ternak yang mengucap
percuma kaugoda
semacam obral di mall besar
sebab yang tamak kelak akan sia
ditikam bayangan kota padang
remah ingatan sepotong lagu
“kampuang nan jauh di mato…”
saat harga adalah rahasia
terjebak di antara ruas jemari
dan tak ada lagi curiga
cuma rangkuman percaya
rahasia di mata
sepanjang pasar
ternak yang beranak
kelak berpindah tangan
tanpa ucap
hanya terasa degap
ketika semuanya usai
tanpa mesti ada yang sangsai
di balik selendang
jemari yang sembunyi
tanpa suara
sunyi
dengan mata berbinar
cuaca yang berdenyar
mengharap kabar
dan tinggal menghitung arah angin
akan ke mana ini berakhir
ibarat muara
cuma suara ternak yang mengucap
percuma kaugoda
semacam obral di mall besar
sebab yang tamak kelak akan sia
ditikam bayangan kota padang
2011